Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Pandora Perbincangan; Brutal di Akhir Pekan

Terhitung beberapa hari yang lalu dalam satuan minggu, ada dua acara penting yang menjadi pokok perkara narasi ini; bedah buku berjudul “Panca In Dira/PID” karya Roby Fibrianto Sirait dan forum berbagi “What the Folk; Folk Musik Musnah?.” Kedua acara ini mengetengahkan persoalan mendasar mengenai ideologi dan filsafat seni yang mulai pudar ditengah perbincangan seni yang selalu memperbincangkan remeh-temeh seperti katak dibalik tempurung. Satu persoalan yang dibedah dalam ruang gawat darurat seni berupa buku “Panca In Dira/PID,” buku yang menuliskan tentang kisah antara dua anak manusia berbeda organ genital yang didekatkan tidak hanya oleh kisah romantism percintaan ala “Romeo dan Juliet” melainkan pula kisah percampuran antara kisah “Macbeth” dan “Around the World in 80 Days.”  Kompleksitas ide yang dituturkan secara brilian oleh penulis menghantarkan pembaca pada pengalaman ekstraterestrial yang membumi, tidak berupa pengalaman bertemu U.F.O ataupun dialektika bumi datar (

Pekak-pekak Badak; Wacana Seni Pop Kota Medan

Seni, kata yang sering diucapkan senafas dengan kata budaya, walau absurd ketika mengatakan bahwa seni adalah budaya atau vice versa . Memang kenyataannya di negeri gemah ripah loh jinawi dan kota kecil bersemboyan “Medan Rumah Kita” ini pengertian seni umumnya dipadankan dengan kata budaya untuk menegaskan bahwa proses kegiatan seni berangkat dari respon ekologis masyarakat yang pada praktiknya sering disalahartikan; entah karena ketidaktahuan secara pemikiran, entah pula karena kepentingan.      Seni itu multi kata; dari ke-seni-an hingga air seni, untuk memahami itu setidaknya unsur pemikiran dan tindakan harus selaras. Pembahasan mengenai wacana seni pop (meminjam dan menyingkat kata “populer—pop”) adalah bagian respon terhadap waktu yang harus diapresiasi bukan lantas dibubarkan dengan segala istilah pseudo academicus , lintasan waktu membuktikan tiap zaman memiliki kultur seni yang mendukung kultur seni sebelumnya atau mendekonstruksi kultur seni yang telah ada. Tak har

Arunika; Akar Bunyi Jalinan Nuswantara

Secepat kilat dan secepat emosi yang membumbung di langit-langit otak untuk menuliskan resensi mengenai penampilan Arunika malam ini (5/4/2018) di Caldera Coffee yang diinisiasi oleh Medan Creative Hub. Arunika yang merunut pada penuturannya telah berkreasi sejak 2017 masuk dalam kategori berhasil mempertunjukkan repertoir dengan apik dalam warna world music , walaupun wacana mengenai keabsahan world music masih terombang-ambing dalam lintasan zaman sebagaimana pernah dikemukakan dedengkot etnomusikologi, Bruno Nettl (2007, s urat elektronik pribadi kepada penulis bertarikh July 30, 2007 dalam membahas perbedaan antara antropologi musik dan etnomusikologi serta musik dan  world music ) sebagai bentuk “keperluan identitas” semata.   Repertoir demi repertoir yang dimainkan termasuk karya instrumental bertajuk “Akar” menengahkan problematika situasi terkini dalam bahasa musikal yang jernih dan sederhana dicerna oleh akal sehat, semisal lainnya repertoir “Raung Khatulistiwa” yang