Udan Potir; Simbolik Ekologis Gordang Sambilan dan Lingkungan Alam




UDAN POTIR
Simbolik Ekologis Gordang Sambilan dan Lingkungan Alam


Avena Matondang



Wacana korelasi kehidupan manusia dengan alam (ekologis) menjadi fokus perhatian pada saat sekarang ini, fenomena berkurangnya energi dan ketidakseimbangan peran antara penyediaan dan penggunaan produksi alam menjadi isu yang berkembang menyertai hubungan manusia dengan alam.
Secara kultural, masyarakat telah hidup dengan hasil yang disediakan oleh alam, pengetahuan manusia terhadap alam telah terangkum dalam catatan kultural yang menyerati kehidupan manusia dari bentuk sederhana menjadi kompleksitas kehidupan masa kini, penggunaan hasil alam dalam bentuk materi hingga pada istilah yang merujuk pada hubungan antara manusia dan alam tercatat dalam kognitif budaya masyarakat.
Kajian ini membahasa tentang ruang imaji simbolik ekologis yang menggambarkan hubungan manusia dalam kebudayaan Batak-Mandailing dengan alam, peran alam yang menentukan sikap dan perilaku masyarakat dalam menjalankan kehidupan.
Bentuk hubungan ekologis antara manusia dan alam direpresentasikan dalam bentuk repertoir musik Gordang Sambilan






Pijakan Awal
Ruang simbolik ekologis secara sederhana adalah ruang penggunaan kearifan budaya dalam bentuk material dasar Gordang Sambilan dan perubahan yang terjadi pada saat sekarang ini. Simbolik ekologis mencakup produksi simbol sosial dalam ruang urban (kota), ini memberi gambaran bahwa simbolik ekologis timbul karena adanya permintaan ekologis yang disesuaikan dengan ruang dan konteksnya, gambaran ini akan mengantarkan pada pemahaman mengenai imaji ruang simbolik ekologis yang terjadi pada Gordang Sambilan di Kota Medan. Nas (1998) memberi gambaran jelas mengenai simbolik ekologis sebagai proses elaborasi antara kemampuan kultural dengan ekologi sosial, dimana situasi ekologi bergantung dengan kemampuan dan ketersediaan pada konteks kehidupan sosial masyarakat. Keadaan ini menyebabkan manusia memiliki kemampuan adaptasi yang dipraktekkan dalam usaha menyesuaikan kehidupan dengan ketersediaan alam. Untuk menemukan pola interaksi antara sosial masyarakat dan ekologis maka penting untuk mendudukan pemahaman mengenai sosial masyarakat (etnis) dan ekologis yang terbentuk dari wilayah kekuasaan sosial masyarakat tersebut.
Batak-Mandailing
Suku dapat dilihat sebagai suatu kesatuan komunal yang menetap pada suatu wilayah serta dibatasi oleh batas-batas geografis, pendapat ini mungkin memiliki kebenaran pada satu sisi namun pada sisi lainnya pendapat ini memiliki kekurangan dalam mendeskripsikan apa sesungguhnya suku. Definisi tentang suku Batak (Purba, 2004:50-51) adalah terdiri dari enam sub-grup, yaitu Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing dan Angkola, keenam sub-group tersebut terdistribusi di sekeliling Danau Toba kecuali Mandailing dan Angkola yang hidup relatif jauh dari daerah Danau Toba, dekat ke perbatasan Sumatera Barat, di dalam kehidupan sehari-hari banyak orang mengasosiasikan kata “Batak” dengan “orang Batak Toba”. Sebaliknya grup yang lain lebih memilih menggunakan nama sub-grupnya seperti Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing dan Angkola. Keberadaan Batak sebagai bentuk masyarakat dengan karakteristik dinamis dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi serta faktor perubahan yang menyebabkannya diungkapkan oleh Sibeth (1991:7) sebagai :The Batak are very dynamic and self confidence people. Over the centuries they have able to guard their homeland against intrusion by foreigners, and it is only in the last 100 years that their way of life and culture has undergone a great change under the impact Christianity, Islam and colonialism.” Mengutip tulisan Kozok (2009:11) yang menjelaskan mengenai penggunaan istilah “Batak” yang pada saat ini sudah jarang dipergunakan sebagai istilah yang merujuk pada kelompok etnis, walaupun pada awalnya istilah “Batak” lazim dipergunakan pada masa prakolonial hingga awal penjajahan untuk merujuk pada kelompok etnis Batak itu sendiri. Hodges (2009:75) turut memberikan definisi mengenai Batak sebagai bentuk suku (etnis) yang mendiami wilayah Sumatera Utara dan terbagi atas enam sub-grup Batak1 (Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, Angkola) yang berbagi persamaan dalam aspek struktur sosial, adat dan sejarah. Secara linguistik2, Batak terbagi atas tiga wilayah, yaitu : a. Mandailing, Angkola dan Toba di wilayah selatan, b. Pakpak dan Karo di utara, c. Simalungun di wilayah timur laut. Batak dalam persepsi kebudayaan dapat diterjemahkan sebagai suku yang mendiami wilayah geografis Sumatera Utara, namun pendapat lainnya mengatakan bahwa Batak tidak terbatas pada wilayah geografis Sumatera Utara saja melainkan diluar cakupan tersebut juga termasuk sebagai bagian Batak dengan syarat mutlak memiliki garis keturunan Batak (patrilineal). Secara geografis suku Batak-Mandailing mencakup wilayah Tapanuli Selatan secara umum, wilayah Tapanuli Selatan terdiri beberapa bagian, yaitu : Kota Padang Sidempuan, Padang Lawas Utara, Padang Lawas Selatan, dan Mandailing Natal. Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1998 dibentuk Kabupaten Mandailing Natal yang terpisah dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Deskripsi mengenai suku Batak-Mandailing penting untuk menegaskan masyarakat yang menjadi pengguna hasil ekologis.
Gordang Sambilan
Gordang Sambilan sebagai bentuk alat musik pukul (membranophone) merupakan identitas musik yang dimiliki oleh masyarakat Batak-Mandailing, Gordang Sambilan memiliki karakteristik sebagai alat musik pukul yang berasal dari Sumatera Utara Gordang Sambilan secara harfiah berarti sembilan buah gendang, Sembilan buah gendang yang terkait dengan instrumen musik lainnya, pengertian Gordang Sambilan merupakan penjelasan yang mencakup keseluruhan ensambel Gordang Sambilan termasuk gong, simbal, dan alat musik tiup masyarakat Mandailing.Pengertian secara harfiah gondang mengandung beberapa arti: (1) alat musik; (2) nama lagu atau repertoar; (3) komposisi musik; (4) jenis musik tertentu; dan (5) sebagai musik itu sendiri. Istilah Gordang, ada kaitanya dengan sistem bercocok tanam orang Mandailing di hauma (berladang di bukit-bukit, baik tanaman palawija maupun padi). Dalam bercocok tanam di hauma ini, ada satu alat semacam "tugal" yang disebut ordang yang digunakan untuk melubangi tanah, setelah tanah berlubang barulah biji-biji tanaman dimasukkan ke dalam tanah dan kemudian ditutup seperlunya dengan tanah. Proses kegiatan bercocok tanam ini disebut mangordang, sedangkan Siregar (1977:87) mendefinisikan Gondang merupakan gendang, dalam arti gondang tunggu-tunggu dua, Gordang adalah gendang, dalam artian sebagai gendang besar (dalam hal ini Gordang Sambilan).
Simbolik Ekologis 
Kaitan antara materi pembentuk (ekologis) dan ritual (simbol) menciptakan suatu kondisi sosial yang terlegitimasi kepada penggunaan Gordang Sambilan yang sarat nilai-nilai ritual-magis. Gordang Sambilan memiliki hubungan ritual, dimana ideologi Gordang Sambilan didasarkan pada interaksi antara masyarakat (manusia) dengan Tuhan (Dewata ataupun penguasa alam) yang diaplikasikan pada bentuk Gordang Sambilan yang besar dari segi ukuran dan suara yang menggemuruh, kesemua hal tersebut bertujuan mendukung korelasi interaksi antara manusia dan “penguasa alam”, yang digambarkan secara umum sebagai sosok yang memiliki kelebihan dari mahluk secara manusiawi. Gordang Sambilan berdasarkan ekologis materi pembentuknya terbuat dari kayu ingul (Ruta Angustifola) yaitu sejenis kayu hutan dengan dinding serat yang tebal dan tidak mudah pecah serta memiliki ketahanan terhadap air. Pilihan rasional atas materi pembentuk Gordang Sambilan memberi petunjuk bahwa nenek moyang Batak-Mandailing pada masa itu telah memiliki pengetahuan yang cukup memadai atas materi pembentuk Gordang Sambilan yang kuat, tahan lama dan juga sebagai pemberian guna kembali kepada roh leluhur atas limpahan kekayaan alam. Dahulunya materi pembentuk Gordang Sambilan dipilih dari beberapa kayu yang ditebang dan diambil dari beberapa hutan serta gunung, kearifan tradisional ini bertujuan melindungi penggunaan hutan secara berlebih sehingga dalam pengambilan pohon tersebut disertai dengan ritual-ritual dan pembacaan mantra tertentu yang ditujukan kepada roh nenek moyang agar mengizinkan pohon tersebut ditebang.

Tabel
Perubahan Materi Pembentuk Gordang Sambilan
Materi Pembentuk Gordang Sambilan
(awal)
Materi Pembentuk Gordang Sambilan
(perkembangan)
  • Kayu Ingul (Ruta Angustifola)
  • Ritual
  • Sulit didapat
  • Harga tergantung kondisi dan ketersediaan
  • Tahan lama
  • Kayu Kelapa (Cocoa Nucifera L)
  • Tanpa ritual
  • Mudah didapat
  • Harga Murah
  • Tergantung penggunaan



Kekayaan ekologis yang terdapat pada Gordang Sambilan berubah ketika Gordang Sambilan keluar dari ekologis atau wilayah asal, sehingga sulit untuk mendapatkan materi pembentuk Gordang Sambilan, selain karena perubahan wilayah dan juga karena berkurangnya pohon kayu ingul yang dapat ditebang akibat dari penebangan liar yang terjadi. Dalam konteks Kota Medan, simbolik ekologis yang terdapat pada Gordang Sambilan bergeser pada penggunaan kayu kelapa (Cocoa Nucifera L) yang memiliki usia menengah (dalam artian kayu sudah mencapai usia yang layak potong dan tidak terlalu tua) dengan alasan bahan pembuatan relatif mudah didapat dan memiliki harga yang murah.
Perubahan materi pembentuk Gordang Sambilan tidak hanya bagian dari proses adaptasi terhadap wilayah geografis tempat tinggal masyarakatnya melainkan juga turut merubah pemahaman mengenai simbolik ekologis yang ditunjukkan oleh materi pembentuknya. Proses pemahaman ekologis melalui materi pembentuk mengajarkan masyarakat akan kearifan lokal yang diselubungi oleh folkore-magis, dan ketika terjadi perubahan tempat tinggal yang turut merubah materi pembentuk maka pengetahuan masyarakat terhadap ekologis materi pembentuk menjadi kurang bahkan hilang sama sekali. Perubahan wilayah yang turut merubah materi pembentuk juga menggeser pemahaman masyarakat yang berbasis pengetahuan terhadap alam menjadi pemahaman akan nilai ekonomis semata yang meninggalkan folklore-magis yang melekat pada materi pembentuk Gordang Sambilan.
Repertoir Ekologis
Simbol ekologis selain dari materi pembentuk Gordang Sambilan terdapat pada repertoir Gordang Sambilan yang selalu berkaitan dengan alam, yaitu :

Tabel
Hubungan Repertoir Gordang Sambilan dan Simbolik Ekologis
Repertoir Gordang Sambilan
Simbolik Ekologis
Gondang Sarama Datu
Posisi Datu sebagai wakil atau perantara antara manusia dengan Tuhan yang menggambarkan hubungan antara Pencipta dan masyarakat
Gondang Paturun Sibaso
Mengundang roh leluhur untuk datang dan merestui acara tersebut yang direpresentasikan dalam tubuh Datu
Gondang Pamulihon
Pemulihan dari kondisi Paturun Sibaso atau sebagai ucapan terima kasih kepada roh leluhur telah datang dan merestui acara tersebut
Gondang Sampuara Batu Magulang
Bebatuan yang jatuh seperti air terjun, hal ini direpresentasikan dalam bentuk bencana longsor
Gondang Dabu-dabu Ambasang
Secara harfiah berarti bergugurannya buah mangga, dan secara ekologis diartikan adanya perubahan situasi, iklim dari suatu kondisi ke kondisi lain
Gondang Padang Na Mosok
Hutan yang sangat hebatnya terbakar, kondisi menyimbolkan kondisi terbakarnya hutan
Gondang Tua
Sebagai sesuatu yang dihormati
Gondang Naipasnai
Secara harfiah berarti yang tercepat
Gondang Udan Potir
Menggambarkan suasana derasnya hujan yang turun dan disertai dengan petir (kilat) yang menyambar



Selain repertoir yang telah disebutkan juga terdapat beberapa repertoir lainnya yang menggambarkan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitar (tumbuhan, hewan, ritus kehidupan), seperti Gondang Sarama Babiat (tarian Harimau) yang merepresentasikan hubungan antara manusia dan Harimau (Babiat) dimana Harimau dalam masyarakat Batak-Mandailing memiliki posisi yang dihormati dengan segala kemampuannya.
Penggambaran repertoir dengan menggunakan imaji ekologi memberi penegasan akan kedekatan masyarakat Batak-Mandailing dengan alam yang melingkupi wilayahnya. Terbentuknya repertoir Gordang Sambilan didasarkan pada suatu kejadian yang telah terjadi (bahkan perulangan) yang menjadi usaha mendokumentasikan hal tersebut, dengan tujuan menghindari terjadinya bencana alam maupun sebagai tanda akan terjadinya sesuatu pada kondisi alam. Simbolik ekologis pada repertoir Gordang Sambilan dapat dibagi menjadi tiga kategori utama, yaitu : ekologis manusia dan pencipta, ekologi manusia dan manusia, serta ekologi manusia dan alam. Ekologi manusia dan pencipta dalam repertoir Gondang Sarama Datu, Gondang Paturun Sibaso, dan Gondang Pamulihon yang secara implisit menceritakan hubungan timbal balik antara manusia dan alam dengan menggunakan pemahaman manusia dan Tuhan. Hal ini merepresentasikan permohonan dan ucapan terima kasih kepada sang Pencipta atas anugerah alam (keuntungan maupun bencana) yang mampu menaungi kehidupan manusia. Pada repertoir Sampuara Batu Magulang, Dabu-dabu Ambasang, Padang Na Mosok, dan Udan Potir tampak jelas pemahaman masyarakat akan kejadian ekologis yang dialami. Seperti Sampuara Batu Magulang yang didefinisikan sebagai jatuhnya bebatuan seperti air terjun menggambarkan kondisi alam (bencana) longsor.
Penutup
Hubungan antara Gordang Sambilan (materi seni) dengan repertoir (judul komposisi) menggambarkan suatu pola hubungan yang berkaitan dengan lingkungan alam (ekologi), sehingga penggambaran terhadap Gordang Sambilan tidak lepas dari pengaruh kondisi lingkungan alam setempat. Faktor-faktor ritual dan hiburan yang muncul dari penggunaan Gordang Sambilan secara langsung membawa perubahan ekologi materi pembentuk Gordang Sambilan namun masih mempertahankan kearifan ekologis yang tersimpan dari beragam repertoir yang masih dimainkan hingga saat ini. Korelasi antara ekologi dan Gordang Sambilan mengukuhkan peran lingkungan alam dalam pembentukan Gordang Sambilan, baik secara materi maupun penggunaan (repertoir). Kearifan ekologis ini juga memberi nilai pada hubungan antara manusia dengan ketersediaan alam yang berlangsung seimbang.


Daftar Pustaka

Diapari, L.S. gelar Patuan Naga Humala Parlindungan. 1990. Adat Istiadat Perkawinan Dalam Masyarakat Tapanuli Selatan. ---:---.

Hodges, William Robert Jr. 2009. Ganti Andung, Gabe Ende (Replacing Laments, Becoming Hymns): The Changing Voice of Grief in the Pre-funeral Wakes of Protestant Toba Batak (North Sumatra, Indonesia). Santa Barbara: Disertasi Ph.D University of California (tidak diterbitkan).

Kozok, Uli. 2009. Surat Batak; Sejarah Perkembangan Tulisan Batak. Jakarta: Ècole française d'Extrème-Orient – KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Lubis, Z Pangaduan dan Zukifli Lubis. 1998. Sipirok Na Soli, Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok. Medan: USU Press.

Matondang, Ibnu Avena. 2008. Gordang Sambilan; Video Etnografi tentang Penggunaannya ditengah- tengah Masyarakat Mandailing di Kota Medan. (32 menit 13 detik). Medan: Skripsi Sarjana S1 Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik – Universitas Sumatera Utara (tidak diterbitkan).

Merriam, Allan P. 1964. The Anthropology of Music. Evanston - Illinois: Northwestern University Press.

Nas, Peter J.M. 1998. Social and Cultural Development of Human Resources - Social Ecology in Urban Setting. ©Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS).

Nasution, Pandapotan. 2005. Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman. Medan: Forkala Provinsi Sumatera Utara.

Purba, Mauly. 2004. Mengenal Tradisi Gondang Dan Tortor Pada Masyarakat Batak Toba. Dalam Ben M. Pasaribu (Ed) : Pluralitas Musik Etnik : Batak-Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak- Dairi, Angkola, Karo dan Simalungun. Medan: Pusat Dokumentasi Dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nomensen.

Sibeth, Achim. 1991. Living With The Ancestor; The Batak; Peoples of the Island of Sumatra. London. Thames and Hudson.

Siregar, Ahmad Samin. 1977. Kamus Bahasa Angkola/Mandailing. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.










1Hodges (2009:77) juga memberikan pandangan mengenai perubahan yang terjadi pada proses interaksi sosial, kepercayaan religi dan adat akibat kedatangan kolonial Belanda (VOC) yang merubah kondisi sosial budaya, religi dan ekonomi masyarakat Batak secara umum.
2Hubungan antara linguistik dan aksara penulisannya dikemukakan oleh Van der Tuuk dan Parkin (Kozok, 2009:69) turut memberikan gambaran mengenai proses perkembangan dan penyebaran dari selatan ke utara serta berasal dari Mandailing yang dibuktikan adanya varian aksara yang muncul di wilayah Toba, Simalungun, Pakpak dan Karo.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Krisis Metode Penelitian Antropologi (Observasi Partisipasi Dan Kedudukan Peneliti Dalam Suatu Penelitian Antropologi)

Rumah Sakit Deli Maatschappaij; Ikon Sejarah Kesehatan dan Aspek Legalitas

BAGAS GODANG; Simbol Ornamentasi Rumah Tradisional Mandailing