Medan Pertarungan; Ruang Publik dan Invenire
Medan
Pertarungan; Ruang Publik dan Invenire
Avena
Matondang
Mendayagunakan
pendapat Habermas1(1987:319),
ruang publik adalah cara menyalurkan kompleksitas kebudayaan
sehingganya ruang publik adalah ruang sosial interaksi yang
dikonstruksikan oleh ekologi kehidupan manusia.
Mungkin
akan berbeda ketika melihat ruang publik Kota Medan yang dijajah oleh
keinginan penguasa, semisal trotoir jalan yang tidak berfungsi
seperti sediakala atau bahkan menjadi objek okupasi ketua-ketua kecil
dengan beragam dalih.
Dalam
hal ini, ruang publik adalah perebutan ruang yang memerlukan
keinginan kuat untuk menjadikan ruang publik menjadi milik publik
seutuhnya, baik dengan bentuk kerjasama internal antar-publik maupun
kerjasama dengan institusi pemerintah (walau tidak bisa berharap
lebih pada bentuk kerjasama ini !.)
Selayaknya
kata “M-E-D-A-N” yang merupakan arena, atau gelanggang yang
tiap-tiap orang memiliki kesempatan yang sama besar untuk
mempertunjukkan sesuatu hal, menjadi sangat terbatas dengan campur
tangan pemerintah dan pengusaha yang lebih mengedepankan tata ruang
kota yang menjanjikan secara ekonomis dibandingkan tata ruang yang
humanis.
Ruang
Publik
Begitu
banyak ruang publik tersebar di Kota Medan dan sebanding pula dengan
keterbatasan terhadap akses ruang publik, sejatinya ruang publik
adalah ruang interaksi antar masyarakat yang tidak tersekat oleh
aspek fisik dan non-fisik. Walau seperti menceritakan dongeng sebelum
tidur, ada baiknya juga kisah beragam ruang publik yang dapat
didayagunakan seperti layaknya gedung Warenhuis yang dapat menjadi
annex building yang kini
kosong menjadi lapak para “raja kecil,” taman-taman kota
yang menjadi penyegar dan kini menjadi “objek kreatifitas”
pemerintah dengan beragam kebijakan “lucu” sekedar bertanam
bunga, membangun tempat ibadah ataupun menyediakan sangkar burung !
Sebagaimana pemerintah menjadikan panggung rakyat yang mengokupasi
jalan menjadi ruang publik.
Ruang publik seharusnya menjadi ruang yang dibentuk oleh publik, dikarenakan ekologi publik2dengan segala atribusinya yang membentuk ruang tersebut menjadi ruang sosial.
Invenire
Invasi
terhadap terbukanya ruang publik adalah suatu keharusan yang
dilakukan dengan beragam cara, bukankah publik juga memiliki kuasa?
Setidaknya dengan meminimalisir ketergantungan terhadap sistem
pemerintahan, publik menjadikan ruang-ruang tersebut sebagai sarana
umum.
Segerombolan
anak muda sudah memulai invasi ruang publik tersebut, walau tingkatan
pengetahuan dan aksepbiliti masih bergantung pada tingkat usia. Sebut
saja anak muda yang bergerombol tiap minggu menjadikan ruang terbuka
sebagai lapak membaca atau
segerombolan anak muda yang mencorat-coret dinding-dinding bangunan
untuk menyuarakan ruang publik yang tak kunjung terbuka.
Cara-cara
tersebut memang rentan terhadap penilaian dan cenderung dilihat
sebagai aksi negatif namun segerombolan anak muda itu sudah muak dan
bosan dengan cakap-cakap
sehingganya bertindak secara agresif untuk melakukan invasi ruang
publik daripada sekedar ruang kedai kopi semata.
Invasi ruang publik dapat diwujudkan dengan beragam cara dan
konsistensi yang tinggi, secara kasat mata dapat dilihat segerombol
anak muda yang kini gandrung menginisiasi invasi ruang publik dengan
cara mereka sendiri, hal ini perlu diapresiasi dan menjadi
pembelajaran bahwa invasi terhadap ruang publik mampu dilakukan.
1Habermas,
Jurgen. 1987. The
Theory of Communicative Action, Volume Two—The Critique of
Functionalist Reason, Cambridge: Polity.
2Waltraud,
Kokot. 2006. Culture and Space-anthropological approaches
in Key Concepts in Social Anthropology; Space. Basel.
Komentar