Kongkow Sore dan Tetesan Hujan; Narasi Kebangsaan
Selasa
(22/08/2017) yang lalu berkesempatan untuk hadir dalam
kongkow-kongkow bersama cerdik pandai di kota ini; ada dosen, ada
pejalan (dervishes), ada aktivis. Lengkap !. Tanpa berbasa-basi panjang dan lebar
akhirnya diskusi dimulai diruang yang bebas merokok untuk
mengakomodinir aspirasi tarikan rokok sambil berfikir. Diskusi ini
menelaah kehidupan Indonesia pasca 72 tahun usia kemerdekaan sebagai
Republik Indonesia.
Diawal
pengantar diskusi, moderator mengajukan beberapa pertanyaan pokok
mengenai dinamika kehidupan Indonesia sekarang ini, dari lintasan
politik dan tentu saja aspek reliji yang masih seksi untuk
diperbincangkan lebih lanjut. Seorang dosen kemudian mengemukakan
narasi panjang sebagai introduksi menuju pembahasan dinamika sosial,
politik dan kultural Indonesia saat ini. Pecahan beragam narasi turut
diperbincangkan dari fatwa reliji hingga fatwa pujangga, dari kertas
perjanjian hingga kertas berwarna dan berharga pula. Setelah dosen
tersebut menyelesaikan paparan narasinya, kemudian dilanjutkan dengan
paparan kebangsaan oleh seorang kerabat antropolog yang telah lama
tak bersua. Paparan narasinya menceritakan beragam dinamika kehidupan
beragama di Indonesia dan konsep kebangsaan (nation)
dewasa ini. Perbincangan ini diselingi sanggahan yang ilmiah.
Dari
dua narasi tersebut akhirnya bertemu pada penegasan sikap kebangsaan
terhadap dinamika politik (baca: sosial media) yang marak terjadi;
saling tuduh, kebenaran tunggal, dan tantangan kehidupan pada masa
yang akan datang. Tanpa bermaksud menyimpulkan akhirnya tiba giliran
mengemukakan pendapat, kusampaikan bahwa ditengah carut-marut keadaan
adalah pertanda kehidupan sedang berlangsung saat ini. Narasi awal
kumulai dengan cerita collapse state
versus economic collapse
untuk mendudukkan pemikiran bahwa (mungkin) terjadi collapse
state (tapi) lebih memungkinkan
terjadinya economic collapse
karena gaya hidup konsumerism yang menjadi gejala global saat ini.
Gejala collapse state
dan economic collapse kuanggap
sebagai bagian democracy discourse
untuk lebih memahami demokrasi diluar praktik politik semata. Secara
umum juga perlu diingat dalam kondisi yang dianggap carut-marut ini
adalah komparasi nyata diantara high reality
dan virtual reality,
suatu kondisi dilingkupi romantism masa lalu (kalau sekarang
istilahnya gagal move on) dibingkai ruang waktu virtual
reality, ke-gagap-an ini dicomot
sebagai bagian dari wacana demokrasi ber-politik sebagai reproduksi
realitas yang layak jual. Ke-gagap-an ini juga yang ditenggarai
menjadi bentuk oposisi binari kehidupan masyarakat saat ini
dipengaruhi oleh pilihan politik.
Sama
halnya seperti menyikapi kehadiran masyarakat adat dalam upacara
kemerdekaan Republik Indonesia ke 72 tahun sebagai pengakuan
institusi negara atas kehadiran masyarakat adat sebagai bagian
komposisi masyarakat Indonesia secara luas, namun juga perlu
diperhatikan kehadiran masyarakat adat beserta simbol juga menjadi
anti-tesis terhadap kegaduhan politik masa kini, dimana masyarakat
adat adalah bagian identitas nasional yang bergerak dari peran
apolitis menjadi politik aktif.
Akhirnya
kongkow sore ini diakhiri bersamaan dengan turunnya tetesan air hujan
yang mengguyur malam, dan dengan kesepakatan bersama diskusi ini
menguatkan kebangsaan tak hanya melalui jalan politis semata
melainkan melalui jalan sosial, jalan kultural dan percabangan jalan
lainnya.
Komentar