DESA NELAYAN – BELAWAN
Diantara Realitas atau
Propaganda Kemiskinan (?)
AVENA, Matondang
Pengamatan
dan penelitian yang dilakukan di Desa Nelayan – Belawan, Medan
bertujuan sebagai aksi dari pembelajaran metodologi penelitian
sosial, selain itu aspek lain yang diperhatikan dalam pengamatan ini
adalah kehidupan masyarakat sehari-hari dan faktor kemiskinan yang
tampak secara eksplisit.
Faktor
kemiskinan sebagaimana yang tampak secara kasat mata di daerah
tersebut tidak sepenuhnya mengandung kebenaran, hal ini berdasarkan
pernyataan informan dilapangan yang menyebutkan adanya sistem arisan
antar keluarga dengan jumlah uang yang berputar sekitar 5 juta Rupiah
dan iuran bulanan berjumlah Rp. 300.000.- (tiga ratus ribu rupiah).
Pernyataan-pernyataan
yang mengatasnamakan kemiskinan merupakan 'istilah' yang sepertinya
diciptakan sekelompok orang atau lembaga untuk mempolitisi keadaan di
Desa Nelayan – Belawan, Medan dengan tujuan mengeruk keuntungan.
Pernyataan ini berkembang setelah melakukan serangkaian pengamatan
terhadap kegiatan masyarakat setempat walaupun pernyataan ini
bukanlah suatu generalisasi terhadap stiuasi dan kondisi namun
terdapat fenomena sosial yang menarik ketika kemiskinan menjadi suatu
“lahan” yang diperebutkan.
Indikator
atau data unjuk terhadap kemiskinan yang dipergunakan menjadi suatu
pertanyaan yang penting mengingat kemiskinan dalam konteks pemahaman
masyarakat, lembaga donor dan pemerintah memiliki acuan masing-masing
yang terkadang saling bertolak-belakang.
Kemiskinan
yang disebutkan sebelumnya lebih mengarah kepada bentuk kemiskinan
secara ekonomis (pendapatan, pengeluaran) sedangkan bentuk kemiskinan
yang “diciptakan” adalah kemiskinan pemikiran dengan mengalihkan
perhatian kehidupan masyarakat terhadap hanya kebutuhan yang dapat
ditukar dengan nilai uang.
Peran antropolog sebagai “agen perubahan” yang membawa DNA kebudayaan sebagai modal gerakan tersebut terkadang terjebak dalam istilah “kemiskinan” dengan mengedepankan kesan kurangnya peran negara dalam kehidupan masyarakat, pada satu sisi menjadi bagian dari masyarakat adalah kunci kerja lapangan antropologis namun perlu juga untuk mengetahui pemahaman mengenai tujuan dilakukannya pengamatan dan penelitian lapangan untuk dapat mengetahui kondisi yang sebenarnya.
Beberapa
tindakan pengamatan disajikan dalam bentuk data visual (fotografi)
untuk memberikan pandangan yang mendalam terhadap keberadaan
masyarakat Desa Nelayan – Belawan, Medan.
Desa
Nelayan – Belawan, Medan
Kondisi
infrastruktur jalan yang terdapat di Desa Nelayan secara implisit
bukanlah representasi dari kemiskinan melainkan bentuk-bentuk
adaptasi lokal terhadap lingkungan ekologis pinggir laut, penggunaan
papan sebagai landasan jalan adalah upaya mengatasi kondisi air laut
yang apabila jalan tersebut berbahan semen maka akan terkikis oleh
air laut dan untuk membangun jalan berbahan semen membutuhkan dana
yang besar serta efektifitas yang rendah, sedangkan penggunaan papan
dilihat sebagai efektifitas tinggi dalam artian tahan dari kondisi
ekologis air laut dan memiliki biaya yang terjangkau oleh penduduk
Desa Nelayan.
Berbicara
kemiskinan dalam realitas masyarakat nelayan perlu untuk dilihat
lebih lanjut mengingat beragamnya studi-studi atas masyarakat nelayan
tersebut, sebagai gambaran singkat dan memiliki kemungkinan besar
mampu dipergunakan sebagai pandangan adalah laporan penelitian
mengenai potensi dan pola hidup istri nelayan di Kelurahan Labuhan,
Medan, walaupun kajian ini perlu dilihat secara kontekstual waktu,
namun pada sisi lain hal ini memberikan setitik terang mengenai
pola-pola hidup masyarakat pesisir (nelayan) selain itu kajian
tersebut juga diperkuat oleh studi yang penulis lakukan atas
masyarakat nelayan di daerah Pantai Labu, Deli Serdang – Sumatera
Utara juga memberikan pandangan tentang posisi 'kemiskinan'
masyarakat nelayan.
Pengamatan
yang penulis lakukan di Desa Nelayan, Belawan ini sekedar kunjungan
singkat yang penting untuk dilanjutkan, dengan tujuan meluruskan
pernyataan mengenai kondisi 'kemiskinan' yang mendera masyarakat
nelayan.
Anak Nelayan
Menangkap
ikan atau hasil laut lainnya merupakan proses alamiah terhadap
pendidikan dasar sebagai anak nelayan yang secara langsung menerima
pengetahuan tersebut didukung oleh peran lingkungan dan manusia,
sehingga anak nelayan terdefinisikan sebagai anak-anak yang memiliki
kemampuan sebagai seorang penangkap ikan beserta atribut lainnya
sebagai masyarakat pesisir lautan. Pendidikan utama yang perlu
ditegaskan adalah transmisi pengetahuan lokal mengenai adaptasi
sebagai masyarakat pesisir (nelayan), pada sisi lain, pendidikan
formal merupakan jenjang yang melengkapi pengetahuan lokal mereka
(local wisdom).
Pada
sisi lain, sekolah dianggap sebagai 'institusi' yang tidak mampu
menolong kondisi masyarakat sebagaimana yang umum terdengar mengenai
sosial ekonomi masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan lebih percaya
pada pengetahuan yang berkembang di lingkungan sebagai sumber
pengetahuan yang dapat merekonstruksi kehidupan mereka.
Sekolah
Madu Hutan
Kondisi
cuaca serta perubahan iklim turut merubah mata pencaharian nelayan
pada satu waktu tertentu dan hal ini bersifat tentatif, salah satunya
adalah mencari hasil hutan yang didapat dari jejeran hutan mangrove
di pinggiran pantai, adakalanya mendapatkan madu hutan atau batang
mangrove yang dapat dijual sebagai komoditas ekonomi pengganti hasil
laut.
Informan
lapangan, Ruslan, mengatakan bahwa 'tidak selalu laut bagus, kadang
jelek ... ya ke hutan', penggalan ungkapan ini memberi sinyal bahwa
komoditas laut adalah primadona ekonomi namun tidak menutup celah
ekonomis melalui cara lain yang masih berkaitan dengan ekologis
maupun sosio-kultural masyarakat nelayan.
Listrik Desa
Terdaftar BPS (Badan Pusat Statistik)
Kereta Naik Perahu
Bermain di Laut
Komentar