MAHA PUJA THAIPUSAM
Sebagai Bentuk Wisata Pilgrim di Kota Binjai


Avena Matondang

Secara definisi, pariwisata pilgrim ditujukan khusus kepada para penganut agama tertentu yang ingin mengunjungi daerah-daerah yang erat kaitannya dengan agama yang mereka peluk, dan mengunjungi tempat-tempat beribadah yang memiliki nilai sejarah. Walaupun dalam bentuk aplikasinya, kegiatan wisata pilgrim tidak terikat pada ruang dalam artian tidak selalu mengarah pada tempat dimana agama tersebut berasal.
Bergerak dari definisi mengenai wisat pilgrim, maka tulisan ini akan membahas mengenai kegiatan wisata pilgrim yang dilakukan oleh etnik Tamil beragama Hindu yang mengunjungi Shri Mariamman Koil di Kota Binjai, Sumatera Utara. Kegiatan wisata pilgrim di lokasi tersebut adalah perayaan Maha Puja Thaipusam, yaitu peringatan kemenangan kebaikan atas kejahatan.
Untuk membahas lebih lanjut mengenai hal tersebut, maka pembahasan akan terbagi atas beberapa bagian, yaitu : bagian definisi pariwisata, wisata pilgrim dan perayaan Thaipusam.

1. Definisi Pariwisata
Definisi pariwisata yang dipandang dari dimensi spasial merupakan definisi yang berkembang lebih awal dibandingkan definisi-definisi lainnya (Gartner, 1996:4). Dimensi ini menekankan definisi pariwisata pada pergerakan wisatawan ke suatu tempat yang jauh dari lingkungan tempat tinggal dan atau tempat kerjanya untuk waktu yang sementara, seperti yang dikemukakan oleh Airey pada tahun 1981 (Smith and French, 1994: 3) :

“Tourism is the temporary short-term movement of people to destinations outside the places where they normally live and work, and their activities during their stay at these destinations”.

Selain pergerakan ke tempat yang jauh dari lingkungan tempat tinggal dan tempat kerja, Airey menambahkan kegiatan wisatawan selama berada di destinasi pariwisata sebagai bagian dari pariwisata.
Definisi pariwisata yang dikemukan oleh World Tourism Organization (WTO) pun memfokuskan pada sisi demand dan dimensi spasial, dengan menetapkan dimensi waktu untuk perjalanan yang dilakukan wisatawan, yaitu tidak lebih dari satu tahun berturut-turut.

“Tourism comprises the activities of persons travelling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purposes not related to the exercise of an activity remunerated from within the place visited”. (www.world-tourism.org diunduh tanggal 17 Desember 2011)

Definisi WTO di atas juga menekankan pada tujuan perjalanan yang dilakukan, yaitu untuk leisure, bisnis, dan tujuan lain yang tidak terkait dengan kegiatan mencari uang di tempat yang dikunjunginya.
Beberapa definisi lain juga menetapkan nilai-nilai tertentu untuk jarak tempuh dan lama perjalanan, yang biasanya dikembangkan untuk memudahkan perhitungan statistik pariwisata:
    1. The United States National Tourism Resources Review Commission (1973) menetapkan jarak paling sedikit 50 mil untuk perjalanan wisata. (ibid)
    2. United States Census Bureau (1989) menetapkan angka 100 mil untuk perjalanan yang dikategorikan sebagai perjalanan wisata. (ibid)
    3. Canada mensyaratkan jarak 25 mil untuk mengategorikan perjalanan wisata. (ibid)
    4. Biro Pusat Statistik Indonesia menetapkan angka lama perjalanan tidak lebih dari 6 bulan dan jarak tempuh paling sedikit 100 km untuk perjalanan wisata. (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003: I-6)
    5. Committee of Statistical Experts of the League Nations (1937) menetapkan waktu paling sedikit 24 jam bagi perjalanan yang dikategorikan perjalanan wisata. (Gartner, 1996: 5)
Definisi pariwisata dari dimensi spasial ini di Indonesia didefinisikan sebagai kegiatan wisata, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Kepariwisataan No. 10 tahun 2009 pasal 1, yaitu kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

2. Wisata Pilgrim
Menurut pendapat dari Spillane (1982:20) mengemukakan bahwa pariwisata:
adalah kegiatan melakukan perjalanan dengan tujuan mendapatkan kenikmatan, mencari kepuasan, mengetahui sesuatu, memperbaiki kesehatan, menikmati olahraga atau istirahat, menunaikan tugas, berziarah dan lain-lain.
Definisi memberi keterangan mengenai suatu proses perjalanan dengan tujuan kenikmatan dan pengalaman atas sesuatu yang tidak pernah dialami sebelumnya. Penekanan oleh Spillane terhadap berziarah berhubungan erat dengan kegiatan wisata pilgrim dalam konteks sosial budaya, sehingga kegiatan wisata pilgrim tidak berdiri sendiri melainkan ditopang oleh sosial-budaya.
Definisi pariwisata dari dimensi sosial budaya menitikberatkan perhatian pada :
1) upaya memenuhi kebutuhan wisatawan dengan berbagai karakteristiknya, seperti definisi yang dikemukakan oleh Mathieson and Wall, 1982 (Gunn, 2002: 9) berikut ini:

“Tourism is the temporary movement of people to destinations outside their normal places of work and residence, the activities undertaken during their stay in those destinations, and the facilities created to cater to their needs”.

Definisi lainnya juga dikemukakan oleh Chadwick, 1994 (ibid) sebagai berikut:

“…identified three main concepts: the movement of people; a sector of the economy or industry; and a broad system of interacting relationship of people, their needs, and services that respond to these needs”.

2) interaksi antara elemen lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial budaya, seperti yang dikemukakan oleh Leiper, 1981 (Gartner, 1996: 6) yang mendefinisikan pariwisata sebagai

“an open system of five elements interacting with broader environments; the human element; tourists; three geographical elements: generating region, transit route, and destination region; and an economic element, the tourist industry. The five are arranged in functional and spatial connection, interacting with physical, technological, social, cultural, economic, and political factors. The dynamic element comprises persons undertaking travel which is to some extent, leisure-based and which involves a temporary stay away from home of at least one night”.

Definisi lain yang lebih sederhana dikemukakan oleh Hunziker, 1951 (French, Craig-Smith, Collier, 1995: 3), yang mendefinisikan pariwisata sebagai berikut

“.. the sum of the phenomena and relationship arising from the travel and stay of non-residents, in so far as the do not lead to permanent residence and are not connected with any earning activity”.

3) kerangka sejarah dan budaya, seperti yang dikemukakan oleh MacCannell, 1992 (Herbert, 1995: 1) berikut ini

“Tourism is not just an aggregate of merely commercial activities; it is also an ideological framing of history, nature and tradition; a framing that has the power to reshape culture and nature to its own needs”.

Definisi pariwisata dari dimensi akademis dan dimensi sosial budaya yang memandang pariwisata secara lebih luas, di Indonesia dikenal dengan istilah kepariwisataan (UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan), yaitu keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesame wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha.

4. Perayaan Thaipusam
Maha Puja perayaan Thaipusam adalah salah satu ritual perayaan yang dilakukan oleh etnis Tamil Hindu, perayaan ini tidak hanya dilakukan etnis Tamil di negara asal, tetapi juga dilakukan oleh Tamil Hindu yang berada di seluruh wilayah, perayaan ritual musim gugur ini pada Januari-Februari.
Nilai Maha Puja perayaan Thaipusam adalah suatu proses menjalani/memenuhi janji untuk menghapus dosa-dosa yang telah dilakukan sejauh ini.
Sebagai bagian dari ritual yang berakar di Tamil budaya dan tradisi Hindu, perayaan Thaipusam di Binjai Maha Puja dibingkai dalam nilai-nilai multikultural yang muncul dalam pertunjukan. Seperti keberadaan etnis lainnya dalam perayaan Thaipusam Maha Puja, ini telah menjadi kebiasaan etnis Tamil Hindu Binjai yang telah lama hidup berdampingan dengan etnis lainnya di Binjai.
Perayaan Maha Puja Thaipusam dapat menjadi suatu kegiatan wisata pilgrim, perayaan yang memuat ajaran-ajaran Hindu dan mengumpulkan umat Hindu dalam suatu upacara yang berbasiskan agama dan memiliki muatan sejarah mengenai keberadaan etnis Tamil-Hindu di Kota Binjai.
Perayaan Maha Puja Thaipusam selain suatu bentuk upacara juga memuat beragam ritual yang dapat dijalani oleh etnik Tamil-Hindu, namun dalam kenyataan dilapangan, perayaan Maha Puja Thaipusam juga telah turut serta menarik umat lain dalam perayaan tersebut. Kemungkinan untuk mengembangkan perayaan Maha Puja Thaipusam menjadi suatu bentuk wisata pilgrim terbuka dengan lebar.
Eksistensi Shri Mariamman Koil-Binjai yang berdiri dari tahun 1880 telah menyimpan suatu lintasan sejarah yang mengokohkan perayaan Maha Puja Thaipusam menjadi suatu bentuk wisata pilgrim, kunjungan terhadap daerah yang memiliki kaitan dengan agama dan tempat ibadah dengan nilai sejarah menjadi suatu hal yang penting dalam kegiatan wisata pilgrim.
Dalam pengamatan, kegiatan wisata pilgrim pada perayaan Maha Puja Thaipusam ternyata tidak terbatas pada satu keyakinan (agama) yaitu Hindu, melainkan juga mengikutsertakan keyakinan lain dalam kegiatan tersebut dalam balutan multikultural. Hal ini menjadi menarik ketika beberapa kegiatan wisata pilgrim pada umumnya hanya diikuti oleh umat pemeluk agama tersebut.






Daftar Pustaka

___________, (2003): Studi Analisis Potensi Pasar Wisatawan Nusantara (Studi Kasus: Bali), Laporan Akhir, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta.

________________ : Definition of Tourism, www.world-tourism.org, diunduh tanggal 17 Agustus 2010.

Craig-Smith, Stephen dan French, Christine, (1994): Learning to Live with Tourism, Longman, Melbourne.

French, Christine N, Craig-Smith, Stephen J., Collier, Alan, (1995): Principles of Tourism, Longman, Melbourne.

Gartner, William C., (1996): Tourism Development (Principles, Processes, and Policies), Van Nostrand Reinhold, New York.

Gunn, Clare A., (2002): Tourism Planning (Basisc, Concepts, Cases), Routledge, New York.

Herbert, David T., (1995): Heritage Places, Leisure and Tourism, 1-20 dalam Herbert, David T., Heritage, Tourism, and Society, 228 p., Pinter, Great Britain.

Seaton, A.V., (1996): The Marketing Concept in Tourism, 3-27 dalam Seaton, A.V. dan Bennett, M.M., Marketing Tourism Products, 540 p., International Thomson Business Press, London.

Spillane, James. J., (1982): Pariwisata Indonesia, Sejarah dan Prospeknya

Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Krisis Metode Penelitian Antropologi (Observasi Partisipasi Dan Kedudukan Peneliti Dalam Suatu Penelitian Antropologi)

Rumah Sakit Deli Maatschappaij; Ikon Sejarah Kesehatan dan Aspek Legalitas

BAGAS GODANG; Simbol Ornamentasi Rumah Tradisional Mandailing