Mitos
Dalam suatu diskusi beberapa waktu yang
telah lalu, kata “mitos” menurut salah seorang peserta diskusi
“janganlah disalahartikan, ketahui apa beda diantara; mitos,
legenda, cerita dan lain sebagainya,” mungkin ada benarnya pendapat
ini akan tetapi mungkin sebanding juga dengan salah yang dimiliki
pendapat ini.
Mitos, selalu diulang-ulang dalam
kehidupan, percakapan “pinggir paret” hingga percakapan “ruang
kelas” pun tak luput membahas fenomena mitos ini. Tapi siapa yang
menyangka ketika diskusi mengenai mitos ternyata “lebih ke mitos”
daripada “lebih ke strukturalism.”
Kenapa jadi strukturalis ? Karena
strukturalis merupakan dasar pijakan untuk membahas lebih lanjut
mengenai mitos. Vico, Jakobson, Saussure, Derrida, Levi-Strauss,
Barthes adalah nama-nama yang berkelebat dalam setiap pembahasan
mengenai struktural (dengan tidak menafikkan beberapa nama lainnya).
Bagi sebahagian orang, melihat bahkan
mendengar nama-nama tersebut bertanya-tanya dan kadangpula merasa
pening sesaat. Tidaklah salah keadaan tersebut karena pengaruh
pengetahuan berbasis Perancis yang terkadang sulit (karena
membutuhkan kemampuan membaca beberapa selubung untuk sampai pada
inti persoalan, dan berbeda dengan negeri ini yang berbelit-belit
tapi tak kunjung sampai pada inti persoalan).
Mitos yang disebutkan oleh Levi-Strauss
merupakan suatu bentuk kesenjangan yang dianggap terjadi akibat dari
sinkronik sejarah dan diakronis cerita oral. Sinkronik yang dalam
istilah Levi-Strauss adalah syntagmatic
atau kalau menurut Jakobson adalah metonymic
yang merupakan suatu bentuk garis horizontal yang tercatat secara
material, atau sejarah. Sedangkan bentuk garis vertikal merupakan
bentuk associative
yang menurut istilah Jakobson adalah metaphoric.
Metaphoric
berdasar pada metafor atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
perumpamaan (dalam bentuk lainnya) sedangkan metonymic
adalah bentuk kata ganti yang
memiliki arti serupa, mendekati makna asosiatif. Bentuk metaphoric
misalnya dalam bahasa adalah
“alisnya bak semut beriring,” “senyum simpul.” Sedangkan
metonymic
seperti kata “Jakarta” yang memiliki kata ganti “ibukota
negara.”
Kedua
bentuk inilah yang menentukan terjadinya mitos dalam kehidupan
manusia, semakin dekat kearah metaphoric
maka akan semakin kentara cerita tersebut menjadi mitos, apabila
semakin dekat kearah metonymic
maka akan semakin jelas cerita tersebut sebagai sejarah (yang ditulis
namun tak terbebas dari pengaruh mitos dan memiliki porsi empiris
yang lebih besar).
Komentar