Sebuah Catatan yang Tertinggal; Suatu Pengalaman Antropologi Kesadaran







Sebuah Catatan yang Tertinggal;

Suatu Pengalaman Antropologi Kesadaran 





Dalam kurun waktu setahun belakangan ini, aku secara personal bertemu dengan beberapa homo academicus yang setidaknya berada dalam ranah ilmiah; seniman, politisi, penyintas, dosen, aktivis dengan beragam latar belakang. Suatu keuntungan untuk dapat saling bertukar pendapat dengan mereka tersebut walaupun terdapat sedikit ke-enggan-an untuk berbicara lebih lanjut, terlebih pada isu politik yang telah berhasil menciptakan dikotomi secara permanen medio 2014 yang lalu.
Awalnya aku berpegang teguh pada pandangan "setiap akademisi akan mampu berfikir secara kritis dan bertanggung jawab," begitulah yang kuyakini, walau pada suatu pembicaraan dengan seorang kerabat alumni perkuliahan mengatakan "tak semua seperti itu, ini hidup bang !" begitu katanya padaku. Seperti cairan pemutih yang kerap dipergunakan untuk membersihkan noda, kalimat kerabat itu berhasil membersihkan pemikiranku dari bias idealis pemikiran.
Begitu pula ketika bercengkrama dengan beberapa rekan antropolog yang aku perkirakan mampu menerjemahkan konsepsi kesetaraan dan mengurangi sikap seksism, namun tetap saja hal tersebut dilakukan dengan selubung lelucon (ada pembaharuan konsep mitos, folklor apabila boleh diperbandingkan antara pemikiran hal tersebut oleh Danandjaja beberapa waktu yang lalu dengan kondisi ke-kini-an). Tak jauh berbeda ketika pembicaraan mengenai kondisi sosio-kultural masa kini yang dipenuhi beragam fenomena; LGBT, distribusi kuasa, ketimpangan dan lain sebagainya yang harus disikapi secara jitu dengan meletakkan pada bahagian yang sesuai dan tak secara serabutan menyambungkannya dengan aspek lainnya yang berpotensi meluluhlantakan konstruksi ilmiah dengan paradigma "ke-gaib-an."
Satu pesan yang kuingat dari kerabat antropolog asal negeri matahari terbit ketika berkunjung ke Medan beberapa tahun silam "It was obvious that you have been to manu cultural events/occasions and you know how to be invisible when needed . . ." yang menguatkan pentingnya memahami arti antropologi tak hanya sekedar tumpukan buku, konsepsi teoritik melainkan pengalaman hidup yang kaya dan menguatkan esensi seorang antropolog sebagai individu yang hidup, mencicipi kehidupan; pahit, manis, asin, dan asam yang beraneka rasa tanpa perlu jatuh pada satu rasa saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumah Sakit Deli Maatschappaij; Ikon Sejarah Kesehatan dan Aspek Legalitas

Krisis Metode Penelitian Antropologi (Observasi Partisipasi Dan Kedudukan Peneliti Dalam Suatu Penelitian Antropologi)

BAGAS GODANG; Simbol Ornamentasi Rumah Tradisional Mandailing