BAGAS GODANG; Simbol Ornamentasi Rumah Tradisional Mandailing



Pengantar
Individu manusia dari berbagai suku yang tersebar di penjuru dunia memiliki kekayaan tradisi yang sangat beragam, kekayaan tradisi tersebut meliputi : kesenian, pengetahuan lokal, arsitektur, teknologi dan lain sebagainya yang juga berfungsi sebagai suatu penanda atau karakteristik suatu suku. Pemahaman mengenai kekayaan tradisi itu juga mencakup mengenai pengetahuan mengenai tempat tinggal atau pada umumnya dikenal dengan rumah.
Rumah selain berfungsi sebagai tempat tinggal, juga memiliki pemaknaan lain yang berkaitan dengan sistem nilai tradisi yang berlaku pada masyarakat tersebut, dalam tulisan ini dibahas mengenai rumah tradisional masyarakat Mandailing. Dalam terminologi masyarakat Mandailing, rumah disebut sebagai bagas godang yang secara harfiah dapat diartikan sebagai rumah besar.
Bagas godang masyarakat Mandailing memiliki beragam nilai budaya yang tersimpan dalam arsitekural bangunan bagas godang, nilai budaya tersebut berperan sebagai pandangan hidup masyarakat Mandailing.
Tulisan ini membahas mengenai bagas godang masyarakat Mandailing sebagai suatu bentuk rumah tradisional dan juga nilai budaya yang tersimpan pada arsitektural bagas godang.

Kehidupan Masyarakat Mandailing
Masyarakakat Mandailing dikenal sebagai sebentuk etnis yang mendiami wilayah Selatan Tapanuli yang berbatasan dengan provinsi Sumatera Barat, kebudayaan masyarakat Mandailing secara umum memiliki kedekatan dengan kebudayaan rumpun Batak yang mendiami wilayah Sumatera Utara.
Masyarakat Mandailing dapat dikenali melalui sistem penamaan satu keturunan atau disebut marga, marga inilah yang menjadi bentuk penanda bagi masyarakat Mandailing dan juga sebagai bentuk keterikatan seorang individu terhadap nilai budaya Mandailing. Marga dapat didefiniskan secara sederhana sebagai suatu kelompok individu yang berasal dari suatu keturunan seorang nenek moyang yang sama, dan garis keturunan itu diperhitungkan secara “patrilineal”. Seluruh anggota marga memakai nama marga yang digunakan sesudah nama sendiri dan nama marga tersebut menjadi penanda bahwa orang tersebut memiliki garis nenek moyang yang sama. Marga-marga dalam kehidupan masyarakat Mandailing adalah : nasution, lubis, hasibuan, matondang, dalimunthe, pulungan, rangkuti, batubara, daulae/daulay, tanjung, parinduri, lintang, mardia.
Pada umumnya setiap marga memiliki nenek moyang yang sama, tetapi terdapat sejumlah marga yang berlainan nama tetapi mempunyai nenek moyang yang sama, misalnya marga rangkuti dan parinduri; pulungan, lubis dan harahap; daulae, matondang serta batubara. Untuk dapat mengikat dan mengenali antar individu dalam satu marga dipergunakan silsilah keturunan atau disebut tarombo, melalui tarombo atau silsilah keturunan dapat diketahui nenek moyang bersama sesuatu marga. Dan dari jumlah generasi yang tertera dalam tarombo dapat pula diperhitungkan berapa usia suatu marga atau sudah berapa lama suatu marga tinggal di Mandailing.
Perhitungan mengenai lama suatu marga dapat dihitung melalui jumlah keturunan hingga saat ini, proses keturunan dan marga melahirkan suatu konsep larangan perkawinan bagi marga yang sama karena perkawinan semarga tidak direstui secara adat-budaya Mandailing dan dianggap merusak proses keturunan.
Mengenai penamaan Mandailing sebagai nama etnik setidaknya hal ini merujuk pada penulisan kata “Mandailing” yang terdapat dalam Kitab Negarakretagama pupuh ke tiga belas yang ditulis oleh Mpu Prapanca, kutipan dari Mulyana (dalam Lubis, 1987:40) menuliskan artian dari kitab tersebut :
"Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu M'layu : Jambi, Palembang, Teba dan Darmasraya pun ikut juga disebut Dasrah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan Kampar dan Pane Kampe Haru serta Mandailing, Tamihang, negara Perlak dan Padang Lwas dengan Samudra serta Lamuri ..."




Bagas Godang; Arsitektur Tradisi Masyarakat Mandailing
Rumah tradisional masyarakat Mandailing yang dikenal dengan sebutan bagas godang memiliki aturan tersendiri dalam membangunnya dalam lingkungan kehidupan masyarakat. Keberadaan bagas godang dalam kehidupan masyarakat Mandailing tidak serta merta menjadi bentuk rumah tradisional masyarakat Mandailing secara luas, hal ini dikarenakan bagas godang merupakan rumah utama yang berada dalam satu kampung, rumah tempat tinggal masyarakat Mandailing lainnya berbentuk seperti bagas godang namun memiliki perbedaan dari sisi jumlah anak tangga dan penggunaan jendela serta bahan. Rumah masyarakat Mandailing pada umumnya memiliki jumlah anak tangga genap dan berada di sisi luar kampung sedangkan bagas godang memiliki jumlah anak tangga ganjil serta dipenuhi ornamentasi yang memiliki nilai dan kehidupan Masyarakat Mandailing.
Nilai budaya masyarakat Mandailing memiliki pandangan bahwa jumlah ganjil memiliki nilai tinggi dalam kehidupan dibandingkan dengan jumlah genap, hal ini tidak saja terbatas pada arsitekur bagas godang melainkan juga berlaku pada hal lainnya seperti gordang sambilan (sembilan gendang) yang memiliki nilai tinggi dalam budaya Mandailing.
Bagas godang memiliki arti bahwa di wilayah (huta) tersebut merupakan bona bulu atau sebagai suatu wilayah yang memiliki sistem pemerintahan tersendiri, bagas godang diperuntukkan sebagai rumah tempat tinggal bagi raja yang memerintah bona bulu tersebut dan dalam kehidupan masyarakat Mandailing kehadiran bagas godang disertai dengan adanya sopo godang yang berfungsi sebagai tempat pertemuan.
Lingkungan bagas godang juga memiliki halaman yang luas yang disebut dengan alaman bolak atau alaman silangse utang, secara harfiah dapat diartikan sebagai halaman yang melindungi seseorang dari permasalahan, seperti utang-piutang. Bagi individu yang memiliki utang dan sedang dikejar oleh penagih utang tersebut maka individu tersebut dapat masuk ke alaman bolak sehingga individu tersebut tidak dapat diganggu dan menjalani proses perdamaian untuk menyelesaikan permasalahannya.
Bagas godang merupakan tempat tinggal bagi raja panusunan ataupun raja pamusuk yang juga merupakan pemimpin huta tersebut, dan bentuk bagas godang bagi raja panusunan pada umumnya lebih besar dari bagas godang bagi raja pamusuk.
Pemahaman secara adat, bagas godang merupakan representasi bona bulu yang berarti bahwa huta tersebut telah dilengkapi dengan adanya unsur dalihan na tolu (kekerabatan), namora natoras (pemimpin), datu (dukun), sibaso (dukun pengobatan), ulu balang, panggora dan raja pamusuk yang berperan sebagai raja dalam sistematika adat.
Bagas godang selain sebagai tempat tinggal bagi raja juga berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi anggota masyarakat dari permasalahan dan selama berada di bagas godang keamanan anggota masyarakat dijamin oleh raja.
Bagas godang secara struktur bangunan merupakan bangunan berbentuk empat persegi panjang yang menggunakan atap seperti bentuk atap pedati (berbentuk segitiga) yang disebut sebagai tarup silengkung dolok. Bagas godang merupakan bangunan tempat tinggal yang terbuat dari kayu dan atap dari ijuk, bagas godang termasuk dalam klasifikasi rumah panggung yang memiliki kolong.
Untuk dapat memasuki bagas godang terlebih dahulu melalui tangga, dimana jumlah anak tangga bagi bagas godang raja panusunan berjumlah sembilan sedangkan jumlah anak tangga bagi bagas godang raja pamusuk berjumlah tujuh anak tangga, tangga ini disebut dengan istilah tangga sibingkang bayo.
Setelah melewati anak tangga maka bagi yang ingin memasuki bagas godang akan disambut oleh dua belah pintu besar yang disebut sebagai pintu gaja marngaur atau gajah yang mengaum hal ini disebabkan pintu besar tersebut akan berbunyi keras ketika dibuka ataupun ditutup. Bunyi keras yang ditimbulkan oleh dua belah pintu besar itu juga berfungsi sebagai penanda bahwa ada seseorang yang datang maupun pulang berkunjung dari bagas godang.
Pembagian tata letak dalam kompleks bagas godang terdiri dari pintu gerbang, sopo jago, sopo godang, bagas godang, sopo eme, sopo godang dan alaman bolak, bagas godang juga memiliki tata ruang yang terdiri dari empat ruang, yaitu ruang depan, ruang tengah, ruang tidur (kamar) dan dapur. Besar dan kecilnya sopo jago, sopo eme serta sopo godang disesuaikan dengan ukuran bagas godang yang terdapat diwilayah tersebut.
Sopo jago merupakan tempat pemuda berkumpul untuk bercengkrama dan juga sebagai pos keamanan bagas godang, sedangkan sopo godang adalah tempat meletakkan gordang sambilan, peralatan seni dan perlengkapan adat lainnya. Sopo eme adalah tempat penyimpanan beras atau lumbung padi yang difungsikan sebagai penyimpanan padi untuk kepentingan masyarakat.


Ornamentasi Bagas Godang; Vernakular dan Arti Simbol
Ornamen yang terdapat pada bangunan bagas godang selain sebagai bentuk yang memiliki fungsi vernakular bangunan juga memiliki arti simbol yang berakar pada nilai budaya Mandailing. Fungsi vernakular bangunan bagas godang disesuaikan dengan kondisi alam dan lingkungan dimana bagas godang tersebut dibangun.
Bangunan bagas godang selain sebagai tempat tinggal juga memiliki nilai budaya Mandailing yang disematkan pada ornamen-ornamen yang terdapat pada bangunan bagas godang, dimulai dari atas pintu masuk utama bagas godang terdapat ornamen matahari bersinar yang berarti sebagai simbol kekuatan, penerangan, rezeki dan kehidupan. Pada bagian penutup sisi atap yang berbentuk segitiga diatas tangga depan bagas godang disebut sebagai alo angin (tamparan angin) atau tutup ari yang berarti sebagai hubungan kekerabatan.
Pada bangunan bagas godang terdapat beberapa ornamentasi yang memiliki arti dan berakar pada nilai budaya Mandailing, seperti :
  1. Mata ni Ari (berbentuk seperti matahari, terdapat diatas pintu masuk dan di atap bagian muka), bentuk ini menyimbolkan sifat seorang raja yang menyerupai sifat matahari yang menerangi dan memberikan kehidupan kepada semua anggota masyarakat,
  2. Bulan (terdapat pada atap bagian muka), simbol ini berarti bahwa di huta tersebut terdapat datu dan sibaso dengan kemampuan membaca peredaran bulan dan bintang sebagai dasar dalam kegiatan pertanian, perkawinan, horja (kerja), perang dan sebagainya,
  3. Bintang (terdapat pada atap bagian muka), sebagai simbol yang merujuk pada sikap menerangi kehidupan masyarakat oleh fungsionaris adat dan juga sebagai tanda kemampuan melakukan perhitungan peredaran bintang,
  4. Rudang (berbentuk seperti bunga), simbol ini memberikan arti bahwa di huta tersebut sudah memiliki kelengkapan adat,
  5. Panji (berbentuk seperti bendera), berarti bahwa penduduk di huta tersebut telah mengerti aturan dan norma adat yang berlaku,
  6. Raga-raga (berbentuk garis silang seperti huruf X), menyimbolkan sikap masyarakat yang berhubungan antara satu dan lainnya dalam lingkup tolong-menolong,
  7. Suncang Duri, adalah simbol yang berarti bahwa huta tersebut memiliki kewajiban untuk menerima dan membantu pendatang yang masuk serta membekali pendatang tersebut apabila meninggalkan huta,
  8. Jagar, berarti bahwa huta tersebut memiliki perangkat yang lengkap sebagai sebentuk huta yang dipimpin seorang raja,
  9. Sipatomu-tomu, sebagai simbol bagi raja untuk memelihara rasa kasih sayang, persatuan dan kesatuan diantara anggota masyarakat,
  10. Podang (pedang), sebagai simbol penegakan hukum di huta tersebut,
  11. Takar (tempurung), adalah simbol keadilan di huta tersebut berlangsung seimbang tanpa membedakan dan juga memiliki arti sebagai simbol arah mata angin,
  12. Tanduk ni horbo (tanduk Kerbau), merupakan simbol kekuatan adat dan kerajaan,
  13. Tangan, sebagai pertanda kondisi huta tersebut aman dan rukun serta penduduk terhindar dari mara bahaya dikarenakan adat terpelihara dengan baik,
  14. Bindu, simbol kekuatan kekerabatan diantara anggota masyarakat,
  15. Bona Bulu, sebagai simbol huta tersebut telah lengkap susunan masyarakatnya dan dipimpin oleh raja yang juga memiliki susunan pemerintahan yang lengkap,
  16. Alaman Bolak/Alaman Silangse Utang, halaman lebar yang terdapat dalam kompleks bagas godang dan sebagai wilayah kekuasaan raja yang memberikan jaminan keamanan kepada anggota masyarakat yang memasukinya.

Penutup
Keberadaan rumah tradisional bagas godang saat ini sudah sangat berkurang dikarenakan lahan pertapakan bagas godang dijual oleh ahli waris pemilik dan juga runtuh digantikan dengan struktur bangunan modern yang menghapus nilai tradisional bagas godang, dengan sedikitnya jumlah bagas godang maka hal ini akan menyulitkan bagi generasi berikutnya untuk dapat mengetahui mengenai bagas godang secara utuh dan menyeluruh.
Berkurangnya jumlah bagas godang menyadarkan pada tiap individu untuk melestarikannya sebagai sebentuk usaha menjaga nilai-nilai tradisi luhur yang dapat menjadi modal budaya dalam kontestasi budaya secara global, selain itu kekayaan simbol dan ornamentasi bagas godang menjadi bukti kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Mandailing.
Bagas godang sebagai sebentuk rumah tempat tinggal juga dapat menjadi pembelajaran mengenai nilai budaya Mandailing bagi masyarakat luas, tidak saja mengetahui mengenai bentuk arsitektural melainkan juga dapat mengetahui sistem pemerintahan, simbol dan perilaku masyarakat Mandailing yang terbentang luas dan beragam bentuk serta menjadi sumber kekuatan kebudayaan secara nasional.

Daftar Pustaka

Lubis, Zainuddin, 1987. Na Mora Na Toras : Pemimpin Tradisional Mandailing. Medan : Skripsi

Sarjana S1 Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik – Universitas Sumatera Utara 

(tidak diterbitkan).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Krisis Metode Penelitian Antropologi (Observasi Partisipasi Dan Kedudukan Peneliti Dalam Suatu Penelitian Antropologi)

Rumah Sakit Deli Maatschappaij; Ikon Sejarah Kesehatan dan Aspek Legalitas