Krisis Metode Penelitian Antropologi (Observasi Partisipasi Dan Kedudukan Peneliti Dalam Suatu Penelitian Antropologi)
Kritik Metode Penelitian Antropologi[1]
(Observasi Partisipasi Dan Kedudukan Peneliti Dalam Suatu Penelitian Antropologi )
Avena Matondang[2]
Pendahuluan
Tulisan ini merupakan kritikan singkat terhadap calon antropolog dan beberapa antropolog dalam melaksanakan tugas penelitian mereka. Kritikan-kritikan yang dimaksudkan meliputi metode observasi partisipasi yang lazim digunakan dalam penelitian antropologi serta menggali lebih dalam kedudukan peneliti dalam penelitian antropologi. Tulisan mengandung kritikan ini hanyalah sebentuk masukan yang diharapkan dapat membangun konstruksi antropologi untuk menuju kearah yang lebih baik serta memperbaiki apa yang menjadi kekurangan dalam aplikasi penelitian antropologi.
Metode secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu cara untuk melakukan sesuatu kegiatan, melalui pengertian secara harfiah tersebut dapat diambil suatu penerjemahan singkat terhadap arti dari metode itu sendiri. Metode dapat dipergunakan dalam segala aspek kegiatan manusia baik secara individu maupun kelompok, salah satunya adalah penggunaan metode dalam suatu penelitian dan hal ini merupakan suatu hal yang tidak bisa dipungkiri lagi karena tanpa mengerti apa sesungguhnya metode yang dipergunakan dalam suatu bentuk penelitian maka penelitian tersebut dapat dikategorikan sebagi suatu penelitian yang gagal.
Antropologi adalah suatu cabang dari bentuk besar ilmu pengetahuan, antropologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan tata cara kehidupan serta proses perjalanan manusia itu sendiri. Antropologi sendiri tidak hanya berbicara tentang hal yang berkaitan dengan “budaya[3]”, antropologi juga berbicara mengenai topik fisik manusia, sebagaimana dijelaskan dalam antropologi ragawi.
Dalam dunia akademis antropologi dikenal metode penelitian observasi partisipasi, yang apabila disederhanakan akan menjadi dua buah kalimat, yaitu observasi yang berasal dari kata observer yang berarti pengamatan secara tekun sedangkan partisipasi berarti sebagai suatu proses usaha ikut serta atau mengikutkan diri dalam suatu kegiatan, dari dua telaah linguis yang disebutkan tersebut dapat dikatakan bahwa metode observasi partisipasi adalah metode yang menekankan bagi diri peneliti untuk melakukan pengamatan secara tekun dimana peneliti melibatkan atau meleburkan diri pada permasalahan penelitian yang dilakukan.
Metode observasi partisipasi merupakan hal mutlak yang harus dilakukan oleh seorang antropolog dalam melakukan kegiatan etnografi, namun ada pendapat yang menyebutkan bahwa metode observasi partisipasi terbagi atas tiga bagian[4], metode observasi sebagai dasar dari partisipasi yang akan dilakukan nantinya dalam penelitian memegang peranan vital. Sebelum melakukan penelitian pada lapangan penelitian, seorang peneliti dalam hal ini antropolog harus terlebih dahulu melakukan observasi terlebih dahulu agar proses pemetaan terhadap lokasi, masyarakat, lingkungan, waktu dapat menjadi konstruksi dasar dalam melakukan penelitian.
Metode observasi atau pra-penelitian sangatlah penting dilakukan sebelum peneliti benar-benar turun kelapangan penelitian.
Observasi partisipasi dapat mengakibatkan ambiguitas peran peneliti, hal ini disebabkan dalam observasi partisipasi, peneliti memerankan diri sebagai orang luar (outsider) yang akan meleburkan diri pada lingkungan setempat (insider). Sebagai outsider, peneliti harus terlebih dahulu menanggalkan segala atribut agar diterima sebagai insider namun konsepsi terhadap insider dan outsider berlaku bagi kedua pihak.
Bagan I :
Peneliti (Outsider) —————— Lingkungan setempat (Insider)
| |
| |
| Lapangan Penelitian |
| |
| |
Insider Outsider
Dari bagan diatas muncul suatu bagian yang selama ini kemungkinan dilupakan atau sengaja tidak diungkapkan, yaitu : peneliti sebagai outsider yang akan melakukan penelitian pada suatu lingkungan masyarakat berusaha untuk menjadikan dirinya sebagai bagian dari lingkungan masyarakat yang diteliti atau insider, sedangkan masyarakat lingkungan masyarakat setempat yang telah dikonsepsikan oleh peneliti maupun panduan penelitian menjadikan diri mereka juga melakukan hal yang sama dalam melihat peneliti sehingga mereka juga berusaha untuk melakukan insider-isation terhadap diri peneliti.
Hal ini yang kemudian menjadi ambiguitas peran peneliti walaupun telah ada yang disebut dengan going native yaitu peneliti harus dapat membedakan dirinya dengan yang diteliti, akan tetapi pada batasan apa pembedaan diri tersebut karena data yang beraneka ragam merupakan keuntungan yang sangat sulit diperoleh. Sekali seorang peneliti melakukan proses penelitian maka peneliti harus dapat melibatkan diri sedekat mungkin dengan yang diteliti namun sekali lagi batasan tersebut adalah suatu hal yang semu, sebagai kemungkinan alternatif adalah membuang jauh pernyataan terhadap insider-outsider, emick-etick karena hal ini dapat menimbulkan bias dalam melakukan penelitian.
Sebagai suatu anggapan sementara selain menghilangkan peran insider-outsider adalah peneliti diharapkan memposisikan diri yang dapat memberikan keuntungan dan kesempatan yang berimbang diantara peneliti dan kajian penelitiannya.[1] Hal ini diungkapkan setelah penulis mengalami stagnantasi dalam melakukan penelitian karena terbentur teknis metode penelitian yang menyimpan seribu kemungkinan perbedaan dengan kondisi di lapangan penelitian.[2] Penulis merupakan mahasiswa departemen Antropologi FISIP-USU angkatan 2003.[3] Budaya dalam hal konteks ini perlu untuk lebih diperhatikan, mengingat pada saat sekarang ini telah terjadi pergeseran akan tentang makna budaya. Budaya yang dimaksudkan adalah meliputi ide, sosialitas dan kebendaan yang menjadi milik bersama dan mengandung nilai-nilai positif, hal ini perlu penegasan kembali karena muncul ungkapan sekarang ini, seperti budaya korupsi, budaya bersih, serta budaya lainnya. Budaya selain sebagai suatu hal yang melingkupi ide, sosialitas dan kebendaan yang menjadi miliki bersama serta bernilai positif juga memiliki nilai yang konstan, bukan memiliki intepretasi yang berbeda-beda.[4] Parsudi Suparlan mengungkapkan hal ini dengan mengklasifikasikan bentuk metode observasi menjadi tiga bagian besar, yaitu : 1. observasi terlibat, 2. observasi setengah-setengah dan 3. observasi tidak terlibat.
(Observasi Partisipasi Dan Kedudukan Peneliti Dalam Suatu Penelitian Antropologi )
Avena Matondang[2]
Pendahuluan
Tulisan ini merupakan kritikan singkat terhadap calon antropolog dan beberapa antropolog dalam melaksanakan tugas penelitian mereka. Kritikan-kritikan yang dimaksudkan meliputi metode observasi partisipasi yang lazim digunakan dalam penelitian antropologi serta menggali lebih dalam kedudukan peneliti dalam penelitian antropologi. Tulisan mengandung kritikan ini hanyalah sebentuk masukan yang diharapkan dapat membangun konstruksi antropologi untuk menuju kearah yang lebih baik serta memperbaiki apa yang menjadi kekurangan dalam aplikasi penelitian antropologi.
Metode secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu cara untuk melakukan sesuatu kegiatan, melalui pengertian secara harfiah tersebut dapat diambil suatu penerjemahan singkat terhadap arti dari metode itu sendiri. Metode dapat dipergunakan dalam segala aspek kegiatan manusia baik secara individu maupun kelompok, salah satunya adalah penggunaan metode dalam suatu penelitian dan hal ini merupakan suatu hal yang tidak bisa dipungkiri lagi karena tanpa mengerti apa sesungguhnya metode yang dipergunakan dalam suatu bentuk penelitian maka penelitian tersebut dapat dikategorikan sebagi suatu penelitian yang gagal.
Antropologi adalah suatu cabang dari bentuk besar ilmu pengetahuan, antropologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan tata cara kehidupan serta proses perjalanan manusia itu sendiri. Antropologi sendiri tidak hanya berbicara tentang hal yang berkaitan dengan “budaya[3]”, antropologi juga berbicara mengenai topik fisik manusia, sebagaimana dijelaskan dalam antropologi ragawi.
Dalam dunia akademis antropologi dikenal metode penelitian observasi partisipasi, yang apabila disederhanakan akan menjadi dua buah kalimat, yaitu observasi yang berasal dari kata observer yang berarti pengamatan secara tekun sedangkan partisipasi berarti sebagai suatu proses usaha ikut serta atau mengikutkan diri dalam suatu kegiatan, dari dua telaah linguis yang disebutkan tersebut dapat dikatakan bahwa metode observasi partisipasi adalah metode yang menekankan bagi diri peneliti untuk melakukan pengamatan secara tekun dimana peneliti melibatkan atau meleburkan diri pada permasalahan penelitian yang dilakukan.
Metode observasi partisipasi merupakan hal mutlak yang harus dilakukan oleh seorang antropolog dalam melakukan kegiatan etnografi, namun ada pendapat yang menyebutkan bahwa metode observasi partisipasi terbagi atas tiga bagian[4], metode observasi sebagai dasar dari partisipasi yang akan dilakukan nantinya dalam penelitian memegang peranan vital. Sebelum melakukan penelitian pada lapangan penelitian, seorang peneliti dalam hal ini antropolog harus terlebih dahulu melakukan observasi terlebih dahulu agar proses pemetaan terhadap lokasi, masyarakat, lingkungan, waktu dapat menjadi konstruksi dasar dalam melakukan penelitian.
Metode observasi atau pra-penelitian sangatlah penting dilakukan sebelum peneliti benar-benar turun kelapangan penelitian.
Observasi partisipasi dapat mengakibatkan ambiguitas peran peneliti, hal ini disebabkan dalam observasi partisipasi, peneliti memerankan diri sebagai orang luar (outsider) yang akan meleburkan diri pada lingkungan setempat (insider). Sebagai outsider, peneliti harus terlebih dahulu menanggalkan segala atribut agar diterima sebagai insider namun konsepsi terhadap insider dan outsider berlaku bagi kedua pihak.
Bagan I :
Peneliti (Outsider) —————— Lingkungan setempat (Insider)
| |
| |
| Lapangan Penelitian |
| |
| |
Insider Outsider
Dari bagan diatas muncul suatu bagian yang selama ini kemungkinan dilupakan atau sengaja tidak diungkapkan, yaitu : peneliti sebagai outsider yang akan melakukan penelitian pada suatu lingkungan masyarakat berusaha untuk menjadikan dirinya sebagai bagian dari lingkungan masyarakat yang diteliti atau insider, sedangkan masyarakat lingkungan masyarakat setempat yang telah dikonsepsikan oleh peneliti maupun panduan penelitian menjadikan diri mereka juga melakukan hal yang sama dalam melihat peneliti sehingga mereka juga berusaha untuk melakukan insider-isation terhadap diri peneliti.
Hal ini yang kemudian menjadi ambiguitas peran peneliti walaupun telah ada yang disebut dengan going native yaitu peneliti harus dapat membedakan dirinya dengan yang diteliti, akan tetapi pada batasan apa pembedaan diri tersebut karena data yang beraneka ragam merupakan keuntungan yang sangat sulit diperoleh. Sekali seorang peneliti melakukan proses penelitian maka peneliti harus dapat melibatkan diri sedekat mungkin dengan yang diteliti namun sekali lagi batasan tersebut adalah suatu hal yang semu, sebagai kemungkinan alternatif adalah membuang jauh pernyataan terhadap insider-outsider, emick-etick karena hal ini dapat menimbulkan bias dalam melakukan penelitian.
Sebagai suatu anggapan sementara selain menghilangkan peran insider-outsider adalah peneliti diharapkan memposisikan diri yang dapat memberikan keuntungan dan kesempatan yang berimbang diantara peneliti dan kajian penelitiannya.[1] Hal ini diungkapkan setelah penulis mengalami stagnantasi dalam melakukan penelitian karena terbentur teknis metode penelitian yang menyimpan seribu kemungkinan perbedaan dengan kondisi di lapangan penelitian.[2] Penulis merupakan mahasiswa departemen Antropologi FISIP-USU angkatan 2003.[3] Budaya dalam hal konteks ini perlu untuk lebih diperhatikan, mengingat pada saat sekarang ini telah terjadi pergeseran akan tentang makna budaya. Budaya yang dimaksudkan adalah meliputi ide, sosialitas dan kebendaan yang menjadi milik bersama dan mengandung nilai-nilai positif, hal ini perlu penegasan kembali karena muncul ungkapan sekarang ini, seperti budaya korupsi, budaya bersih, serta budaya lainnya. Budaya selain sebagai suatu hal yang melingkupi ide, sosialitas dan kebendaan yang menjadi miliki bersama serta bernilai positif juga memiliki nilai yang konstan, bukan memiliki intepretasi yang berbeda-beda.[4] Parsudi Suparlan mengungkapkan hal ini dengan mengklasifikasikan bentuk metode observasi menjadi tiga bagian besar, yaitu : 1. observasi terlibat, 2. observasi setengah-setengah dan 3. observasi tidak terlibat.
Komentar
-Ibnu Avena Matondang-
www.ilmuantropologi.blogspot.com
saya ingin mengungkapkan bahwa bebas nilai atau tidak itu merupakan kemutlakan seseorang, dengan adanya pernyataan anda "fahamin dulu penelitian kuantitatif dan kualitatif, sebab salah satu aksioma lahirnya post positivism nya dekade th 90-an manusia itu beda dengan benda", titik penting dari bebas nilai atau tidak bukan berdasarkan pada hal tersebut melainkan berdasar kepada kemampuan dan kemauan peneliti atau dengan sederhana dapat dikatakan bahwa setiap individu berbeda
memang betul yang anda katakan sosialisasi tetapi sosialisasi yang kita lakukan pada umumnya adalah sosialisasi modifikasi dan sebahagian lainnya mempelajari proses sosialisasi untuk mendapatkan suatu jati diri sendiri.
saya pribadi senang berdiskusi dengan anda, silahkan anda berpendapat dan saya juga akan mengeluarkan pendapat saya.
kenapa sepertinya metode penelitian antropologi itu masih sangat kabur dan susah untuk mengaplikasikannya dalam penelitian...
thankz
semoga komentar ini dapat memberi secercah info mtodologi antropologi
mengapa sih metode penelitian antro itu berbedan dengan penelitian yang lain ya
?????
Perbedaan metodologi pada tiap bidang pengetahuan adalah suatu hal yang lumrah, mengingat tiap-tiap pengetahuan memiliki ciri khas dan fokus yang berbeda. Dalam konteks antropologi, metode penelitian antropologi berbeda dengan penelitian lainnya atas dasar penggunaan etnografi sebagai kekuatan dari antropologi, dimana etnografi memberi peran lebih kepada peneliti (observasi partisipasi, wawancara)