Social Media Platform; Kedekatan yang Menjauh




Beberapa hari yang lalu di layar gawai elektronik besutan Steve Jobs hasil pemberian kembaranku menampilkan pesan elektronik via platform sosial media whatsapp “bro, bisa kirim artikel tentang jaringan komunikasi sosial untuk e-zine kampus ?” Kulihat asal pesan dari seorang rekan akademisi di seberang benua, kujawab pesan elektronik itu dengan “ok bro, aku kirim versi Indonesia ya, english nyusul. Judulnya Whatsapp; Kedekatan yang Menjauh. Antropologi Supermodern Konsep.” Balasan singkat “ok” dari rekan itu kuanggap persetujuan judul, istilahnya accepted bagi mereka yang terbuai angan-angan jurnal internasional (dilain waktu “mungkin” aku akan bercerita panjang tentang ini).
Asal muasal judul artikel itu berasal dari pengamatan secara pribadi terhadap penggunaan platform sosial media pada gawai yang membenturkan pemahaman kultural dengan bahasa algoritma. (Mungkin) sudah umum individu menggunakan platform media sosial walau sering terjadi juga gawai dipenuhi beragam platform media sosial dan diisi oleh kanal pembicaraan individu yang itu-itu juga serta pembicaraan “kriik-kriik” kering, basi.
Pernah juga kulakukan percobaan sosial sederhana dengan menyapa seorang rekan dalam grup sosial media (berdasarkan kedekatan asal pendidikan dan profesi) dan berbicara panjang kali lebar yang dimulai dari “Say Hello” hingga “Post-Cultural.” Dalam perjumpaan fisik (Face to Face) ternyata tak seindah pertemuan virtual (Gadget to Gadget), rekan tersebut seakan tidak mengenal walau kucoba memperkenalkan diri. Jawabannya hanya sekenanya saja “Oiya” jawaban standar buat palak ! Setidaknya ketika memperkenalkan diri kupergunakan juga jurus Lal Bahadur Shastri ketika berhadapan dengan Srivastava “Srivastava saheb, namaste. You did not recognize me. I am Lal Bahadur.” Pelan, halus namun menohok rasa respek terdalam seorang manusia yang sadar secara fisik dan pikiran.
Begitu pun, pertemuan virtual (Gadget to Gadget) dalam grup sosial media selain diisi pembicaraan “wacana” tak pernah usai juga diisi dengan pembicaraan kelompok (peer-talk) yang “syur sendiri” menafikkan fungsi ideal platform sosial media; berbagi. Terlihat ada yang “merasa pintar,” “kalem = kaya lembu,” “diam-diam makan dalam,” “borong-diskon pembicaraan,” dan se-pasukan hiburan “pencari cinta masa lalu.”
Selain itu, harusnya, idealnya platform sosial media masa kini tidak terkait dengan kultur patron yang terbangun dalam kehidupan secara semu. Tiap individu bebas untuk melakukan komunikasi sosial berbasis media tanpa perlu memandang stratifikasi; umur, perkelaminan, golongan dan jabatan, serta remeh-temeh peradaban lainnya. Namun, gawai boleh jadi modern dan pikiran ketinggalan laju kereta zaman !. Pernah melihat kata-kata ini di ruang pembicaraan platform sosial media ? “Halo Ibu *** Selamat Siang,” “Bang, bagaimana ?,” atau “KALIMAT INI TEGAS.” Selamat kalau anda pernah menemukan penulisan kata-kata itu dalam kanal pembicaraan sosial media anda, berarti anda bagian dari kultur patron yang merepresi secara tak sadar. Platform sosial media tidak menyediakan kata tunjuk orang pertama dengan embel-embel posisi (term of address--term of reference), hanya nama dengan algoritma @[at]nama.
Tanpa bermaksud mendahului proses alihbahasa artikel yang sedang dikejar tenggat waktu, kututup tulisannya ini dengan “smart and idiot, we just an user’s.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumah Sakit Deli Maatschappaij; Ikon Sejarah Kesehatan dan Aspek Legalitas

Krisis Metode Penelitian Antropologi (Observasi Partisipasi Dan Kedudukan Peneliti Dalam Suatu Penelitian Antropologi)

BAGAS GODANG; Simbol Ornamentasi Rumah Tradisional Mandailing