Pandora Perbincangan; Brutal di Akhir Pekan
Terhitung beberapa hari yang lalu
dalam satuan minggu, ada dua acara penting yang menjadi pokok perkara narasi
ini; bedah buku berjudul “Panca In Dira/PID” karya Roby Fibrianto Sirait dan
forum berbagi “What the Folk; Folk Musik Musnah?.” Kedua acara ini
mengetengahkan persoalan mendasar mengenai ideologi dan filsafat seni yang
mulai pudar ditengah perbincangan seni yang selalu memperbincangkan remeh-temeh
seperti katak dibalik tempurung.
Satu persoalan yang dibedah dalam
ruang gawat darurat seni berupa buku “Panca In Dira/PID,” buku yang menuliskan
tentang kisah antara dua anak manusia berbeda organ genital yang didekatkan
tidak hanya oleh kisah romantism percintaan ala “Romeo dan Juliet” melainkan
pula kisah percampuran antara kisah “Macbeth” dan “Around the World in 80 Days.”
Kompleksitas ide yang dituturkan secara brilian oleh penulis menghantarkan pembaca pada pengalaman ekstraterestrial yang membumi, tidak berupa pengalaman bertemu U.F.O ataupun dialektika bumi datar (!).
Lompatan-lompatan katak dalam plot
cerita “Panca In Dira” menggugah sisi alienasi fiksi dalam tulisan, suatu hal
yang sangat sulit diketemukan saat ini ditengah gelombang repetisi waktu yang
mengulang kisah romantism dengan mengubah latar belakang cerita.
Disisi lain, tulisan ini mencoba
menggugat peran dan identitas “penulis” yang selalu diikutkan dengan atribusi “sastrawan”
suatu istilah yang muncul dan menjadi medium “peng-AKU-an” dan menindas dalam
konteks penguasaan khasanah tulis-menulis. Penulis “Panca In Dira” dengan latar
belakang seorang calon sejarawan cum pendidik menggelontorkan idealism empiris
berkalang konsepsi dari Marx, Derrida hingga Weberian yang dibalut penggugatan
tuhan atas nama cinta dua anak manusia. Seorang Dira yang mempertanyakan
eksistensi kehadiran diri, lahir sebagai manusia tanpa hak memilih untuk muncul
dari rahim siapa dan status apa yang disandangnya, sedangkan Panca adalah anak
manusia yang lahir dengan batin melepaskan diri dari keterikatan sistem hidup
yang menjemukan dan menantang tuhan untuk tidak turut campur dalam konstelasi
pertarungan mendapatkan hati seorang perempuan, pertempuran yang selalu kalah
oleh bendera “perjodohan.”
Beda buku yang alot menghadirkan
Avena Matondang seorang antropolog dan Idris Pasaribu seorang senior citizen
merangkap redaktur budaya salah satu koran terbitan Kota Medan, pembicaraan
yang deduktif pada akhirnya harus mengeluarkan ego masing-masing seperti
pertanyaan mengenai “seni untuk seni” dan “pesan dalam seni” oleh seorang odeon yang sepertinya belum pernah duduk tiga SKS pengantar
seni ditambah tiga SKS apresiasi seni dan tiga SKS filsafat seni serta sudah “mampu”
mendaku sebagai seorang “seniman.”
Kekacauan seni yang bermula dari “mereka” ini memperparah dan menjaga eksistensi sebuah “komunitas” yang selalu berlindung dibalik “budaya tanam taman” suatu fallacy yang diternak rezim orde politik.
Mungkin, salah satu konsesus dari
bedah buku itu adalah kemampuan menunjuk diri dalam kontestasi seni yang pekat
dan gelap sambil mencoba membakar suluh agar tetap menyala.
Beranjak dari bedah buku “Panca
In Dira” berselang hanya satu hari setelahnya diadakan acara “What the Folk;
Folk Musik Musnah?” yang diinisiasi oleh Meranggas (Medan Ruang Geliat Seni)
suatu landasan seni yang dibangun lintas kajian praktikal untuk mendekatkan
seni dengan ruang-ruang publik perkotaan. Folk musik yang didefinisikan sebagai
musik rakyat berasal dari kata Volk yang secara linguistik mengalami perobahan
menjadi Folk kemudian diaminin oleh Polka. Folk musik yang berakar pada tradisi
ini mencoba bertahan ditengah gempuran idealis dan kebutuhan perut serta
pencari panggung ketenaran yang bertebaran disana-sini. Berbicara folk musik
tidak lepas dari pengaruh Amerika Serikat dengan Bob Dylan yang berawal dari
kerjasama apik antara Moses Asch dan Alan Lomax yang berkeliling seantero
Amerika Serikat mengumpulkan khazanah bunyi yang merakyat, dengan bermodalkan
mobil volkswagen tipe kumbang yang dipadati beragam alat perekam suara. Kelak
Smithsonian Folkways mencatat peran keduanya sebagai tokoh folk musik dan
dedengkot perekaman audio lapangan.
Ketika pembicaraan mengenai musik
folk dimulai ditengah riuh kelompok musik di Kota Medan, maka muncul suatu
pertanyaan “apakah kita sadar akan akar tradisi kita ?” atau “hanya menjadi
pengikut dari sesuatu yang instan ?” dan dengan bangga mengaku bahwa inilah
kultur hibrid yang disemai sambil sesekali mematikan akar tradisi; entah karena
malu atau sebab lainnya.
Perkara musik folk ini sebenarnya
selesai dibahas dan dipraktikkan ketika pemain musik sadar dan bertanggungjawab
atas karya, tidak hanya memainkan bunyi karena subjektifitas semata melainkan
sadar situasi keliling, sumber asal dan kecenderungan mengembalikan bunyi pada
masyarakat bunyi itu sendiri, kata sederhananya “tidak syur sendiri.”
Akan menjadi tidak lucu (lagi)
ketika permainan komposisi bunyi menjadi identik dengan kelas dari ruang-ruang
pertemuannya; lihat saja panggung pertunjukan bunyi harus menanggung sikap
apresiator yang mabuk material memabukkan berharap kemasukan ruh sehingganya
dapat mencipta kreasi bunyi eksotik nir-fikiran (?). Memang dalam ritus folk,
lazimnya ayahuasca menjadi media penghantar pada ruang dimensi lain dengan
modal pikiran yang sudah ada bukannya mengganti pada kultur yang tersusun oleh
unsur kimiawi C, H dan O.
Akhir kata, kita perlu mempertanyakan
kembali tentang ideologi dan filsafat seni seperti mempertanyakan “untuk apa
hidup ini ?” dengan melepaskan ikatan relijius yang dogmatis namun tidak
terjatuh pada “semu sesaat” yang menciptakan labirin pengetahuan tak berujung,
walau sadar mempertanyakan ideologi dan filsafat seni adalah membuka kotak
pandora yang juga ‘takkan berakhir.
Komentar