Pluralitas Etnik dan Konflik Sosial

Pluralitas Etnik dan Konflik Sosial


Avena Matondang


Konflik secara harfiah dapat dijelaskan sebagai suatu proses berlawanan antara dua pihak dengan muatan kepentingan-kepentingan, suatu konflik yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa aspek diantaranya seperti etnik atau kelompok, dalam hal ini suatu konflik yang terjadi dan disebabkan oleh latar belakang etnik atau kelompok suatu hal yang umum terjadi dengan dasar motif utama adalah kecemburuan sosial dan persaingan dalam rangka eksistensi etnik atau kelompok dalam skala sosial yang luas.
Dalam berbagai kajian antropologi dikenal suatu konflik dengan dasar etnik dan kelompok baik dalam tingkat lokal, nasional maupun internasional, sebagai suatu proses, konflik disepakati oleh para ahli lintas ilmu suatu tindakan yang tidak bisa untuk dihapuskan melainkan dilakukan suatu tindakan untuk mengelola konflik dengan tujuan menjadikan konflik tidak sebagai sumber masalah melainkan sebagai suatu tindakan yang dapat diatasi dan dikelola sebagai suatu cara untuk mendapatkan akar permasalahan.
Dalam penulisan ini akan dijabarkan dua kasus dengan tema konflik antaretnik atau antarkelompok, sebagai suatu usaha deskripsi terhadap konflik antaretnik atau antarkelompok akan dideskripsikan konflik antaretnik atau antarkelompok dengan tingkatan yang berbeda, tujuannya untuk mendapatkan gambaran yang berdasarkan pada perbandingan antar konflik antaretnik atau kelompok dengan tingkat lokal, nasional maupun internasional, dan dapat menjadi suatu bahan masukan bagi suatu usaha rekonsiliasi konflik.


A. Bentuk-bentuk konflik antaretnik atau antarkelompok
Konflik yang terjadi merupakan suatu proses dalam kehidupan yang umum terjadi, namun suatu konflik yang terjadi bukanlah suatu fenomena tanpa penyelesaian, suatu usaha untuk menyelesaikan konflik adalah dengan mengetahui apa yang menjadi dasar terjadinya konflik tersebut, adapun bentuk-bentuk konflik antaretnik atau antarkelompok yang terjadi adalah :
1. konflik antaretnik yang terjadi antara etnik Madura dan etnik Dayak di Kalimantan Barat,
2. konflik antarkelompok yang terjadi di Irlandia Utara.
Kedua jenis konflik antaretnik atau kelompok yang menjadi studi kasus dalam penulisan ini adalah suatu usaha untuk mendapatkan suatu gambaran yang mendetail mengenai suatu konflik antaretnik atau kelompok. Dua konflik yang menjadi fokus penelitian dengan cakupan yang berbeda, dimana pada konflik antaretnik di Kalimantan Barat antara etnik Madura dan Dayak adalah konflik antaretnik yang terjadi dengan cakupan lokal, sedangkan konflik yang terjadi di Irlandia Utara adalah konflik yang terjadi dengan cakupan lokal dan menjadi konsumsi internasional. Perbandingan antara dua konflik dengan cakupan yang berbeda bertujuan untuk mendapatkan suatu penjelasan yang mendetail terhadap suatu konflik.

B. Identifikasi konflik berdasarkan substansi, isu, penanganan dan faktor yang terkait
Sebagai suatu usaha untuk mendapatkan pemahaman terhadap suatu konflik antaretnik atau kelompok diperlukan suatu proses pengidentifikasian berdasarkan hal-hal yang menjadi dasar terjadinya suatu konflik. Penjabaran atas hal dasar suatu konflik berdasarkan pada dua contoh konflik yang terjadi, yaitu konflik antaretnik di Kalimantan Barat dan konflik antarkelompok di Irlandia Utara.
1. Konflik antara etnik Dayak dan Madura di Kalimantan Barat.
Konflik antaretnik yang terjadi antara etnik Dayak dan Madura di Kalimantan Barat adalah konflik antaretnik yang disebabkan oleh timbulnya kecemburuan sosial antara etnik Dayak terhadap etnik Madura (Lihat “Madura dimata Dayak,” Giring) yang didahului oleh sikap individu etnik Madura yang bersikap berlebihan terhadap etnik Dayak yang merupakan etnik “tuan rumah” di Kalimantan Barat. Etnik Madura dalam konteks
masalah ini merupakan etnik “pendatang” di tanah Dayak dengan label “transmigran,” konflik yang terjadi diawali dengan sikap individu etnik Madura yang berlebihan terhadap individu etnik Dayak akan tetapi konflik yang terjadi pada awalnya tidak menjadi suatu konflik yang serius, hal ini dibuktikan dengan adanya perdamaian diantara dua pihak yang bertikai namun konflik yang selalu didamaikan tersebut tidak menjawab akar pemasalahan dan melebar menjadi konflik dengan latar belakang etnik dan merambat pada kecemburuan sosial etnik Dayak terhadap etnik Madura yang disebabkan karena etnik Madura lebih menguasai segi perekonomian di Kalimantan Barat sedangkan etnik Dayak tidak juga beranjak sebagai konsumen di tanahnya sendiri hal ini menimbulkan dan menambah daftar pemicu terjadinya konflik di Kalimantan Barat.
Konflik antaretnik di Kalimantan Barat antara etnik Dayak dan Madura ditangani dengan menggukan strategi resolusi konflik, yaitu suatu cara memahami apa yang menjadi latarbelakang masalah dan mengembalikan hal tersebut kepada kemampuan budaya masing-masing etnik dengan tujuan mengatasi konflik yang terjadi. Akar permasalahan adalah kurangnya sikap bersahabat dari etnik Madura terhadap etnik Dayak, hal ini dikarenakan secara prilaku budaya, etnik Madura memiliki perilaku kasar dengan dasar paham seorang “Jawara” dan setiap masalah selalu diselesaikan melalui “Carok” yaitu bertarung sampai mati demi mempertahankan harga diri, sedangkan pada etnik Dayak dengan latar belakang sikap Melayu yang mengedepankan sikap musyawarah dan mengalah, kedua prilaku budaya yang berbeda tidak mendapatkan perhatian yang serius dan rentan terhadap konflik.
Konflik yang terjadi memakan korban pada dua belah pihak tanpa mempertimbangkan seorang individu tersebut terlibat atau tidak terlibat, sehingga yang berlaku pada saat konflik itu terjadi adalah hukum rimba, dimana apabila etnik Dayak mendapatkan atau menemukan seorang atau sekelompok etnik Madura maka akan dibunuh begitu juga sebaliknya dilakukan oleh etnik Madura, menurut kacamata konflik hal ini merupakan bagian dari pembersihan etnik (cleaning ethnic), baik itu demi suatu kepentingan pihak tertentu maupun tidak.
Konflik antaretnik antara etnik Madura dan Dayak berdasarkan pada model konflik yang diungkapkan oleh Soetrisno (2000:101-103) sebagai suatu konflik yang didasarkan pada kurangnya usaha pemberdayaan (empowerment), dimana usaha pemberdayaan terhadap masyarakat bukan suatu usaha pemberdayaan yang merupakan “gimmick” secara politis melainkan suatu pemberdayaan dengan memperhatikan kondisi dan aspirasi masyarakat dalam usaha kehidupan bernegara, dalam konteks konflik antaretnik di
Kalimantan Barat, usaha pemberdayaan yang dilakukan pemerintah tidak lebih dari usaha “gimmick” secara politis, sehingga pemberdayaan dan pemahaman pemerintah sebagai pemegang kekuasaan terhadap dua etnik yang menjadi bagian masyarakatnya sangat kurang sehingga usaha antisipasi tidak dapat dilakukan dan konflik di Kalimantan Barat telah muncul sebagai ekses negatif dari ktidakberdayaa dan kurangnya pemahaman pemerintah Indonesia terhadap masyarakatnya sendiri.
Pendapat untuk mengatasi konflik yang terjadi sejalan dengan pendapat Pelly yang mengatakan bahwa :
... kerusuhan etnis berakar dari kesenjangan sosial-ekonomi dan merupakan protes budaya yang memberikan petunjuk kuat bahwa tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat majemuk telah dilanggar dan dihancurkan.” (1999:34).
Berdasarkan pendapat tersebut maka konflik antara etnik Dayak dan Madura di Kalimantan Barat merupakan suatu proses yang telah didahului oleh adanya gesekan-gesekan sosial yang terjadi antara etnik Dayak dan Madura namun tidak mendapatka perhatian dari pihak pemerintah dan masih adanya individu dari kedua etnis yang tidak mematuhi kesepakatan dalam resolusi konflik yang telah dilakukan sebelumnya.
2. Konflik antarkelompok di Irlandia Utara.
Peran agama dalam menciptakan suatu konflik antar kelompok di dunia dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, seperti konflik antarkelompok dengan latar belakang agama di Kosovo berbeda dengan konflik antarkelompok dengan latar belakang agam di Irlandia Utara namun kedua konflik ini memiliki garis penghubung, yaitu faktor agama memegang peran penting dalam munculnya konflik.
Irlandia Utara merupakan suatu negara yang terletak dalam gugusan United Kingdom, masyarakat Irlandia Utara terbagi atas dua komunitas masing-masing berdasarkan agama, yakni komunitas Katolik dan komunitas Protestan. Dengan kata lain, agama dalam konflik ini telah berubah dari suatu paham spiritual manusia menjadi paham spiritual dan sekaligus ciri-ciri khas atau identitas eksklusif dari suatu komunitas yang membedakan dengan kelompok atau komunitas lainnya.
Dalam kasus Irlandia Utara, disamping faktor agama, faktor politis juga berperan dalam konflik tersebut. Historis kelompok Protestan yang berada di Irlandia adalah kelompok imigran Inggris yang ditempatkan di Irlandia oleh pemerintah Inggris dalam upaya menguasai wilayah itu sedangkan kelompok Katolik merupakan kelompok penduduk yang pada awalnya tinggal dan menetap di Irlandia Utara. Upaya-upaya yang
dilakukan oleh pemerintah Inggris untuk menguasai wilayah tersebut juga membawa paham Protestan yang bertentangan dengan paham masyarakat setempat, yaitu Katolik. Paham-paham agama yang menjadi aspek penting dalam memunculkan konflik diantara dua kelompok merupakan faktor lain selain dari usaha yang dilakukan oleh pemerintah Inggris untuk menguasai wilayah tersebut, usaha untuk menguasai tersebut selain menimbulkan konflik juga menimbulkan pemberontakan oleh kaum Katolik terhadap Protestan dalam hal ini pemerintah Inggris dan masyarakat Inggris.
Konflik yang terjadi di Irlandia Utara merupakan suatu contoh konflik yang disebabkan oleh berbgai faktor dan menimbulkan kompleksitas dalam usaha penyelesaian. Kompleksitas yang timbul dari konflik tersebut mengaburkan tema utama atau akar permasalahan dari konflik tersebut dan menyebabkan konflik yang berkepanjangan selain itu diperlukan berbagai cara untuk mengatasinya, termasuk memecah permasalahan dalam beberapa bagian dan mempergunakan cara-cara tertentu dan berbeda dalam upaya menyelesaikan konflik tersebut.
Proses konflik Irlandia Utara disebabkan oleh beberapa faktor :
1. masyarakat, dalam pengertian luas mencakup warganegara, usaha kekerasan yang dilakukan merupakan objek pelampiasan kemarahan masyarakat terhadap suatu kekuatan yang menekan mereka dan masyarakat tidak mampu melawannya. Kekuatan itu adalah negara yang berinteraksi dengan rakyatnya dengan dasar asas “the state can do no wrong”, asas ini dapat menimbulkan rasa tidak berdaya di kalangan masyarakat, dalam konteks konflik Irlandia Utara, pemerintah Inggris sebagai pihak yang ingin menguasai wilayah Irlandia telah menyebabkan dan menyeret masyarakat Inggris dalam konflik yang timbul dengan komunitas Katolik di Irlandia Utara.
2. agama, memang merupakan wahana yang sangat efektif untuk memobilisasi massa, namun keefektifan agama sebagai penyebab suatu konflik tergantung pada kondisi yang dialami sebuah masyarakat. Agama akan mudah menjadi wahana mobilisasi guna mencapai tujuan negatif, seperti penyebab konflik, apabila masyarakat mengalami ketidakberdayaan ekonomi dan politik yang tinggi. Sebaliknya, agama akan sulit dijadikan penyebab konflik apabila keberdayaan ekonomi dan politik masyarakat tinggi.
Menurut Irwan Abdullah (1999:11-18) mengenai hakekat konflik adalah suatu konflik etnis yang berlangsung dapat dimulai dari konflik antarpersonal, antarorganisasional, atau institusional. Cara seseorang membangun citra kebudayaan orang lain sangat mempengaruhi munculnya konflik antarpersonal, organisasional maupun
institusional. Aspek personal, organisasional, dan institusional harus dilihat sebagai kerangka bagi munculnya konflik etnis dan kelompok di berbagai tempat.
Konflik yang terjadi di berbagai tempat dapat dilihat beberapa pola konflik dapat memberi warna dalam proses resolusi. Pertama, konflik hubungan, yaitu suatu konflik yang muncul karena adanya emosi negatif, mispersepsi, stereotipe, miskomunikasi, atau tindakan negatif yang berulang-ulang yang diwujudkan oleh suatu kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lain. Persoalan hubungan semacam ini dapat menjadi pemicu munculnya konflik yang bersifat destruktif. Akar dari konflik tipe ini bersifat personal karena dimulai dari dua orang atau lebih yang stereotipe yang dimiliki terhadap orang lain telah mempengaruhi cara pandangnya dan juga sikapnya terhadap orang lain. Kedua, konflik struktural yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan di luar kelompok. Keterbatasan sumber-sumber fisik dan otoritas, hambatan geografis seperti jarak, waktu dan perubahan organisasi dapat menciptakan konflik disini menjadi semacam krisis. Konflik semacam ini sulit untuk dipecahkan karena faktor luar selalu terkait dengan kekuasaan yang menentukan proses dominasi dan subordinasi kelembagaan. Dalam hal ini konflik bisa muncul karena kekuasaan dipraktikkan dengan cara yang berbeda-beda dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

C. Kesimpulan
Akhir tulisan ini memiliki kesimpulan bahwa konflik adalah suatu proses yang terjadi dengan modal pertentangan, persaingan dan perbedaan yang terjadi diantara dua individu maupun kelompok. Sebagai suatu bentuk fenomena sosial, konflik merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari karena kata kunci penyelesaian konflik adalah resolusi konflik yaitu penghapusan konflik melalui suatu proses metode yang analitis dan mampu menjangkau akar permasalahan. Resolusi konflik yang diperoleh melalui serangkaian proses metodologis yang analitis diharapkan dapat bersifat permanen terhadap suatu masalah atau konflik yang terjadi.
Substansi dari konflik adalah terjadinya perbedaan diantara dua individu atau kelompok dan pada beberapa kasus, konflik yang terjadi tidak hanya sebagai diri pribadi (individu) atau kelompok, ada faktor lain yang turut serta dalam menyebabkan timbulnya konflik, seperti faktor agama, pemerintah serta sistem kebijakan yang bersifat top-down, dan lain-lain. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya konflik sekilas merupakan aspek yang lekat dalam kehidupan sehari-hari namun perlu suatu usaha untuk menjaga stabilitas diantara faktor-faktor tersebut agar konflik dapat diatasi secara dini.
Saran terhadap konflik antaretnik dan kelompok yang menjadi studi kasus dalam penulisan ini adalah : 1. Penanganan pada konflik antara etnik Dayak dan Madura di Kalimantan Barat adalah sebagai bagian dari resolusi konflik diperlukan usaha dan proses untuk memahami prilaku budaya dari masing-masing etnik dan dapat menjadi modal dalam mengatasi konflik yang muncul diantaranya, prilaku budaya dan budaya dari suatu etnik penting untuk diketahui sehingga apa yang menjadi stereotipe, kebiasaan maupun karakater suatu etnik dapat diketahui baik yang bernilai positif maupun negatif karena hal ini dapat membantu untuk memahami dan menentukan dalam mengambil keputusan terhadap suatu permasalahan yang terjadi, baik di dalam maupun kaitannya dengan etnik lain, selain itu pola kebijakan pemerintah yang ikutserta dalam proses rekonsiliasi konflik tidak lagi sekedar “gimmick” dengan muatan politis tertentu dan pola penanganan konflik dengan kebijakan yang bersifat top-down, yaitu kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah dan masyarakat melaksanakan. Pola ini harus dirubah menjadi pola up-down yang menyertakan aspirasi masyarakat dalam usaha rekonsiliasi konflik. Modal sosial yang menjadi faktor elementer dalam penanganan konflik harus dikembangkan dalam suatu wilayah yang heterogen sehingga gejala-gejala konflik dapat terdeteksi lebih dini dana dapat dilakukan usaha rekonsiliasi secepatnya. 2. Dalam konteks konflik antarkelompok di Irlandia Utara yang melibatkan dua komunitas berbasiskan agama, Protestan dan Katolik. Rekomendasi yang diberikan adalah perlunya memisah permasalahan berdasarkan kategorisasi masalah sehingga pola penanganan terhadap konflik dapat terlaksana dengan tepat, masalah utama dalam konflik Irlandia Utara adalah adanya kepentingan dari pemerintah Inggris untuk menguasai wilayah (Irlandia Utara) secara geografis dan politis serta faktor agama mayoritas yang menjadi terikut dalam konflik, hal ini dapat berekses negatif yang dapat melibatkan dua kelompok agama secara internasional. Pola penanganan konflik Irlandia Utara adalah mengupayakan mengkategorisasi masalah dan melakukan tindakan terhadap tiap permasalahan, memisahkan faktor agama dalam konteks konflik, melepaskan peran pemerintah dalam usaha turut serta menyebabkan konflik dalam hal ini pemerintahan Irlandia, usaha lainnya adalah proses pemahaman terhadap nilai-nilai budaya dari tiap kelompok agama (Protestan dan Katolik) dan merevitalisasi modal sosial yang dapat menjadi modal dasar dalam menghadapi konflik yang terjadi.

Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. Dari Bounded System ke Borderless Society; Krisis Metode Antropologi dalam Memahami Masyarakat Masa Kini, Jurnal Antropologi Indonesia Vol. 60, Jakarta, 1999.

Giring. Madura Dimata Dayak, ---, 2000.

Soetrisno, Loekman. Konflik Sosial; Studi Kasus Indonesia, ---, Jakarta, 2000.

Harahap, Irwansyah. A Samanic Messenger: Interfaith Dialog Through Art Performance, Makalah disampaikan pada kegiatan Song of Peace and Reconciliation: A Comparative Study of Music, Worship and The Arts Among Muslims and Christians diselenggarakan oleh Arab Baptist Theological Seminary, Beirut Lebanon, tanggal 1-5 April 2009. (Video Presentation)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antropologi Visual

BAGAS GODANG; Simbol Ornamentasi Rumah Tradisional Mandailing

Krisis Metode Penelitian Antropologi (Observasi Partisipasi Dan Kedudukan Peneliti Dalam Suatu Penelitian Antropologi)