Perkawinan Etnik Batak-Mandailing dalam Pandangan Hukum (Studi perbandingan aspek hukum adat, agama dan nasional dalam perkawinan)

Perkawinan Etnik Batak Mandailing Dalam Pandangan Hukum (Studi perbandingan aspek hukum adat, agama dan nasional dalam perkawinan antara etnik Batak Mandailing )


Avena Matondang


Pendahuluan
Etnik Batak Mandaling adalah etnik yang memiliki garis keturunan secara patrilineal atau menarik garis keturunan dari pihak ayah (orangtua laki-laki), secara sederhana etnik Batak Mandailing dapat didefinisikan sebagai individu-individu yang bertempat tinggal dimana saja namun memiliki garis keturunan secara patrilineal dari orangtua laki-laki Batak Mandailing. Dalam melihat garis keturunan tidak lepas dari peran perkawinan sebagai suatu ritus perjalanan hidup manusia, dimana perkawinan merupakan suatu proses melanjutkan keturunan secara genealogis dan memperlebar jarak persaudaraan atau yang lebih dikenal dengan istilah kekerabatan, namun fokus tulisan ini merujuk pada usaha pendeskripsian dari sudut pandang hukum dalam melihat implikasi dari suatu perkawinan etnik Batak Mandailing.

Batak Mandailing
Batak Mandailing merupakan kelompok etnik yang pada umumnya memiliki basis daerah tempat tinggal di kawasan Tapanuli bahagian Selatan, namun hal itu tidak menjadikan bahwa etnik Batak Mandailing yang bertempat tinggal di Tapanuli Selatan merupakan representasi etnik Batak Mandailing secara umum. Etnik Batak Mandailing dapat didefinisikan secara sederhana sebagai individu-individu yang memiliki garis keturunan dari pihak ayah atau orangtua laki-laki dan memiliki marga sebagai penanda suatu klan serta bertempat tinggal dimana saja, dari definisi ini kemudian bergerak pada sistem sosial-budaya yang berlaku pada etnik Batak Mandailing tersebut, diantaranya adalah sistem perkawinan dan implikasinya.
Garis keturunan secara patrilineal mengakibatkan garis keturunan dari pihak ayah atau orangtua laki-laki dan hanya dapat diteruskan oleh anak laki-laki, sehingga anak perempuan hanya dapat meneriman garis keturunan dari ayahnya tanpa dapat meneruskannya kembali kepada anaknya kelak, hal tersebut berpengaruh besar terhadap sistem perkawinan, kekerabatan hingga pada pembagian warisan.
Eksistensi dalam lingkungan sosial telah menyebabkan seorang individu memiliki hubungan sosial dengan individu maupun kelompok yang memiliki latar-belakang budaya yang berbeda, hal ini perlu untuk dijelaskan mengingat hal tersebut memiliki akibat yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan suatu sistem budaya, dalam tulisan ini yang diangkat adalah perkawinan pada etnik Batak Mandailing dilihat dari sudut pandang hukum dan implikasinya. Dari hal tersebut dapat mengerucut pada dua bagian besar yang menjadi objek analisis, yaitu perkawinan antara dua individu (laki-laki dan perempuan) dalam satu lingkup budaya, yaitu Batak Mandailing dan perkawinan antara dua individu (laki-laki dan perempuan) yang berbeda latar belakang budaya, misalnya perkawinan antara laki-laki Batak Mandailing dan perempuan Jawa, maupun laki-laki Melayu dan perempuan Batak Mandailing. Perkawinan seperti contoh terakhir yang disebutkan dapat menimbulkan dampak yang sangat luas dan saling berkaitan antara satu sama lain dalam sistem budaya Batak Mandailing.
Pengaruh-pengaruh kehidupan kota dan desa yang semakin kompleks turut merasuki kehidupan budaya yang berakibat pada suatu sistem budaya, hal ini menjadikan budaya tersebut dapat bertahan atau menjadi berbaur dengan budaya lain atau menghilangkan suatu budaya akibat bercampur dengan budaya yang lain.

Perkawinan Pada Etnik Batak Mandailing
Perkawinan secara harfiah diartikan sebagai penyatuan antara laki-laki dan perempuan dalam maksud melanjutkan keturunan dan memperlebar jarak persaudaraan, secara genealogis, perkawinan adalah suatu proses untuk melahirkan keturunan baru yang kelak mewarisi hak dan kewajiban dari orangtuanya serta memperpanjang suatu garis keturunan. Secara kekerabatan, perkawinan adalah suatu proses memperlebar jarak kekerabatan dan menjadikan suatu bentuk kekerabatan menjadi besar dan kuat dengan masing-masing individu saling berkaitan dengan dasar kekerabatan, dimana kekerabatan sendiri secara antropologi terjadi karena tiga hal, yaitu : keturunan, perkawinan dan pemberian/pengangkatan.
Tulisan ini fokus terhadap garis hal-hal yang timbul oleh akibat perkawinan namun hal ini akan dijelaskan secara hukum adat, agama dan nasional.

Aplikasi dan Implikasi Hukum Adat, Agama (Islam), Nasional Dalam Perkawinan Batak Mandailing
Batak Mandailing sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya merupakan suatu etnik yang menarik garis keturunan dari pihak ayah, sehingga suatu perkawinan yang terjadi antara pihak laki-laki Batak Mandailing dan perempuan Batak Mandailing menghasilkan keturunan laki-laki, maka keturunannya tersebut berhak dan wajib meneruskan garis keturunan ayahnya yang dapat dilihat dari marga yang dibawanya, selain itu perkawinan antara individu Batak Mandailing merupakan suatu perkawinan yang dianggap ideal dari sudut pandang hukum adat Batak Mandailing, karena segala akibat yang timbul dari perkawinan tersebut dapat diatasi dengan menggunakan hukum adat, namun apabila keturunan dari perkawinan tersebut adalah perempuan maka perempuan tersebut hanya berhak menerima marga ayahnya tanpa memiliki kemampuan meneruskan marga ayahnya tersebut pada keturunannya kelak.
Proses pembagian warisan dari jenis perkawinan ideal yang telah disebutkan sebelumnya membagi warisan dengan bagian terbesar dipegang oleh keturunan anak laki- lakinya sedangkan anak perempuan hanya menerima separuh dari bagian anak laki-laki, hal ini belum turut pembagian kepada ibu atau istri ayah apabila masih hidup.
Hukum adat yang ada dan berlaku sekarang ini ditengah-tengah masyarakat Batak Mandailing banyak dipengaruhi oleh hukum-hukum Islam, hal ini disebabkan pengaruh Islam yang sangat kuat dan menjadi landasan hukum adat, walaupun sebenarnya hukum adat Batak Mandailing bersumber dari adat budaya mereka sendiri tanpa campur tangan agama, masuknya pengaruh agama dalam hukum adat dapat dilihat dari istilah yang ada ditengah- tengah masyarakat Batak Mandailing, yaitu Adat-Ibadah, yang berarti adat harus sejalan dengan nilai-nilai agama yang dalam hal ini adalah agama Islam.
Masuknya pengaruh agama dalam hukum adat Batak Mandailing telah merubah hukum adat tersebut, seperti misalnya, dalam hukum adat tidak diatur mengenai perkawinan antara laki-laki Batak Mandailing dan perempuan Batak Mandailing namun berbeda keyakinan atau agama, dengan masuknya hukum agama (Islam) dalam hukum adat telah menjadikan perkawinan tersebut tidak sah dari sudut pandang agama, namun legal dari sudut pandang adat karena perkawinan yang terjadi merupakan perkawinan ideal tanpa dipengaruhi oleh faktor agama, hal ini secara antropologis terjelaskan bahwa agama muncul dan berkembang dari suatu kebudayaan.
Sisi positifnya, hukum adat yang telah bersintesa dengan hukum agama (Islam) dalam adat etnik Batak Mandailing menjadikan status perkawinan jelas dalam sudut pandang hukum agama, adat dan hukum nasional, hal ini dikarenakan hukum nasional yang berlaku bagi warganegara Indonesia berdasar pada Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila yang hanya mengakui 5 (lima) agama, yaitu : Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha, sehingga faktor budaya dikesampingkan secara politis yang berimplikasi terhadap kurang berperannya adat budaya bagi masyarakat yang merupakan pendukung suatu adat budaya dan mengakibatkan kehidupan budaya tidak dapat berkembang bebas dikarenakan terbentur faktor-faktor agama yang telah diatur oleh pemerintah.
Sisi negatif dari adanya tiga sudut pandang hukum, yaitu adat, agama dan nasional telah menjadikan suatu permasalahan yang kompleks, seperti contoh perkawinan yang diakui oleh adat belum tentu disetujui oleh hukum agama dan nasional (pemerintah), hal ini berakibat dari tidak jelasya status perkawinan tersebut, dan yang lebih besar lagi adalah adat budaya tertekan oleh sikap hukum nasional yang bersandar pada hukum kolonial Belanda dan agama yang tidak memandang hukum adat sebagai sudut pandang hukum yang utama.

Daftar Pustaka :
Matondang, Ibnu Avena, Gordang Sambilan; Video Etnografi Tentang Penggunaannya Ditengah-tengah Masyarakat Mandailing Di Kota Medan, Skripsi S-1, Departemen Antropologi FISIP-USU, tidak diterbitkan, 2008.

Nasution, Pandapotan, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, Forkala Prov. Sum. Utara, Medan, 2005.

Komentar

dfdfd mengatakan…
HIS Graha Elnusa Hubungi : 0822 – 9914 – 4728 (Rizky)
Menikah adalah tujuan dan impian Semua orang, Melalui HIS Graha Elnusa Wedding Package , anda bisa mendapatkan paket lengkap mulai dari fasilitas gedung full ac, full carpet, dan lampu chandeliar yg cantik, catering dengan vendor yang berpengalaman, dekorasi, rias busana, musik entertainment, dan photoghraphy serta videography. Kenyaman dan kemewahan yang anda dapat adalah tujuan utama kami.

Postingan populer dari blog ini

BAGAS GODANG; Simbol Ornamentasi Rumah Tradisional Mandailing

Antropologi Visual

Krisis Metode Penelitian Antropologi (Observasi Partisipasi Dan Kedudukan Peneliti Dalam Suatu Penelitian Antropologi)