ini zaman plastik !
ini zaman plastik !
Awalnya, tulisan ini
melihat realita saat ini yang diisi dengan kerja mata secara monoton
dengan melihat layar berukuran kecil bila dibandingkan inci layar
televisi, yaitu layar gawai yang memvisualkan beragam ombak berita
yang siap menerjang isi kepala secara cepat, entah itu benar atau
salah itu perkara belakangan. Bayangkan saja,
pertikaian bisa muncul tidak hanya karena didasarkan atas perbedaan
dukungan terhadap salah satu calon pemimpin daerah, melainkan juga
perbedaan paradigma mengenai “dunia datar dan dunia bulat,”
persoalan adab terbaru “komik” dengan konten perkelaminan.
Tulisan ini tidak akan
membahas satu persatu soalan tersebut karena aku saja sudah lelah
untuk membicarakan hidupku sendiri, seperti berteriak sendiri dalam
kotak kubus tertutup. Akan tetapi, tulisan singkat ini bertujuan
untuk menggugah kesadaran secara individual, akan suatu bentuk sadar
diri, sadar posisi, bahkan sadar akan keberadaan.
Mahluk bernama manusia
yang dikreasikan dengan 1350cc volume otak, terkadang berfikir;
berbicara dan bertindak secara auto-pilot, entah dimana pusat
kendalinya (!), persoalan-persoalan dunia maya ditarik pada dunia
nyata bahkan sebaliknya. Suatu soalan gegar budaya yang tidak tuntas
diselesaikan atau (mungkin) gagap dikarenakan terlalu banyak
mengonsumsi karbohidrat agar terkesan vegan (?) suatu bentuk futuristic ecological.
Dalam kajian antropologi
religi, ada satu soalan yang telah tuntas dikonsepsikan, yakni emosi
keagamaan, sebagai suatu perasaan yang muncul sebagai realitas reliji
dan hanya terjadi dalam durasi sepersekian detik saja sebagai
pengukuhan identitas reliji layaknya rasa pedas; sakit setelah
dicubit. Ketika konsepsi tersebut dikonfigurasikan dalam bentuk
kesadaran diri, terjadi suatu mal-praktik yang menjadikan kesadaran
diri berlebih dengan melebihkan pandangan terhadap orang lain dan
melupakan subjek diri sendiri.
Atau, mungkin diri telah
lupa dengan idiom-idiom kehidupan ? Sebagaimana yang terbangun dalam
proses evolutif kehidupan, seperti sakit ketika dicubit, jangan
mengganggu kalau tidak mau diganggu, atau juga lupa dengan pepatah
lama “hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri
sendiri,” mungkin juga terlalu menginternalisasi pepatah “rumput
halaman tetangga lebih hijau dari rumput halaman sendiri.”
Soalan-soalan tidak akan selesai jika hanya diberi ruang perdebatan, melainkan akan selesai dalam ruang reflektif secara personal, suatu kesadaran diri untuk menggugah diri apakah diri sudah sadar atau belum bahwa kini adalah zaman plastik ! Bukan lagi zaman batu atau zaman besi.
Komentar