Arunika; Akar Bunyi Jalinan Nuswantara
Secepat kilat dan secepat
emosi yang membumbung di langit-langit otak untuk menuliskan resensi
mengenai penampilan Arunika malam ini (5/4/2018) di Caldera Coffee
yang diinisiasi oleh Medan Creative Hub. Arunika yang merunut pada
penuturannya telah berkreasi sejak 2017 masuk dalam kategori berhasil
mempertunjukkan repertoir dengan apik dalam warna world music,
walaupun wacana mengenai keabsahan world music masih
terombang-ambing dalam lintasan zaman sebagaimana pernah dikemukakan
dedengkot etnomusikologi, Bruno Nettl (2007, surat elektronik pribadi kepada penulis bertarikh July 30, 2007 dalam membahas perbedaan antara antropologi musik dan etnomusikologi serta musik dan world music)
sebagai bentuk “keperluan identitas” semata.
Repertoir demi repertoir
yang dimainkan termasuk karya instrumental bertajuk “Akar”
menengahkan problematika situasi terkini dalam bahasa musikal yang
jernih dan sederhana dicerna oleh akal sehat, semisal lainnya
repertoir “Raung Khatulistiwa” yang diisi oleh vokal “one
take” tanpa repetisi berhasil memberikan gambaran bunyi yang
direpresentasikan kehadiran instrumen talempong
dan flute sebagai
jawaban atas dialektika keadaan.
Dalam
bedah karya world music
lazim mempertemukan dua arus yang saling berbeda untuk memberikan
identitas cross-cultural
yang kuat, Arunika juga melakoni hal tersebut dengan mengutip
bermacam identitas bunyi melintas geografis dalam alunan bunyi,
idiom, struktur kalaupun ada kritik (mungkin) pada pemahaman
pemilihan instrumen, ketika gitar akustik enam senar dengan standar
tuning, bass
elektrik lima senar dan sape'
bertemu dalam ruang komposisi bunyi; saling berebut gelombang rendah
dan tinggi, (mungkin) akan menjadi pilihan ketika gitar akustik
memberi aksentuasi “middle range”
dengan pengaturan tuning diluar standar (D-A-D-G-A-D) dan memilih
alternatif permainan rhythm,
tapi kembali lagi inilah karya orisinal Arunika dalam merespon
kultural melalui bunyi yang sulit untuk dibantah.
Kecelakaan
(untuk mengganti kata “kritik”) dalam penyelenggaraan acara
pertunjukan dan diskusi musik ini adalah ketika pembahasan dalam
bahasa bunyi (musik) didatangi oleh bahasa sosial-politik oleh pseudo
academicus dengan meletakkan
pembahasan politik hegemoni yang direpresentasikan oleh pemilihan
scales dan nuansa Jawa
dalam repertoir dan penampilan, walaupun Arunika sejatinya
menarasikan keseluruhan fenomena historis, sosial-politik bahkan sisi
religius sekalipun dalam komposisi bunyi namun bunyi adalah getaran
yang bisa dirasakan secara bathiniah
bukan sekedar badaniyah.
Akhir kata semoga Medan sebagai kota merespon kehadiran Arunika dalam
dimensi musik dalam frame
lompatan katak
apresiasi seni yang menggeliat menumbuhkan ranting, dahan dan
dedaunan menuju mekar, tak lagi memotong akar berharap kuasa (!).
****
Komentar