Pekak-pekak Badak; Wacana Seni Pop Kota Medan





Seni, kata yang sering diucapkan senafas dengan kata budaya, walau absurd ketika mengatakan bahwa seni adalah budaya atau vice versa. Memang kenyataannya di negeri gemah ripah loh jinawi dan kota kecil bersemboyan “Medan Rumah Kita” ini pengertian seni umumnya dipadankan dengan kata budaya untuk menegaskan bahwa proses kegiatan seni berangkat dari respon ekologis masyarakat yang pada praktiknya sering disalahartikan; entah karena ketidaktahuan secara pemikiran, entah pula karena kepentingan.
     Seni itu multi kata; dari ke-seni-an hingga air seni, untuk memahami itu setidaknya unsur pemikiran dan tindakan harus selaras. Pembahasan mengenai wacana seni pop (meminjam dan menyingkat kata “populer—pop”) adalah bagian respon terhadap waktu yang harus diapresiasi bukan lantas dibubarkan dengan segala istilah pseudo academicus, lintasan waktu membuktikan tiap zaman memiliki kultur seni yang mendukung kultur seni sebelumnya atau mendekonstruksi kultur seni yang telah ada. Tak haram 'pabila seni pop kemudian menjadi corong berkegiatan mereka yang memahami seni bersentuhan dengan waktu dan tidak terjebak pada romantisme seni yang lalu, pendekonstruksian makna atas seni juga perlu, mengingat seni tak harus merujuk pada definisi “keindahan” melainkan pada definisi seni sebagai respon emosional (Doorman, 2003), kalau kata kids zaman now itu adalah bentuk kontemporer, bebas berekspresi tanpa dapat dipungkiri juga kalau kata seni masuk dalam leksikon bahasa Indonesia pada awal abad ke-20 yang diserap dari kata “art” (Supangkat, 2006).
     Lalu, ketika definisi seni telah ditentramkan dan diterima, siapakah artist ? (aku tidak akan menyebut dengan istilah seni-man, tapi memilih menulis pelaku seni sebagai “artist”) seluruh manusia dengan kegiatan hidupnya adalah artist; dengan gaya, pembawaan hingga trik sebagai bagian penerapan seni tanpa batas (Scharfstein, 2009). Karena, pendidikan tinggi pun meluluskan seorang sarjana seni dengan gelar S.Sn (sarjana seni) bukan dengan gelar “seniman.” Menjadi lucu ketika perbincangan seni harus membawa embel-embel usia (!) sebagai penegasan bukan pada proses dan karya, kalau boleh saran mungkin baik kiranya bagi uwak-uwak seni-man itu memahami secara komprehensif “The Death of the Author ”
     Dari istilah-istilah itu pada praktiknya muncul yang disebut sebagai “Dewan Kesenian Medan,” siapa mereka ? Karena kalau ada Dewan Kesenian Medan tentu adapula Dewan Kesenian Karo, Deli Serdang, Pematang Siantar, dan lain sebagainya yang sinomin dengan wilayah dan mengedepankan seni kultur tradisi. Dan menjadi absurb bin lucu ketika Dewan Kesenian Medan justru memungut kesenian yang telah memiliki kantong wilayah tersendiri serta mengklaim sebagai “bentuk kesenian Medan.” Justru kesenian Medan adalah proses kegiatan seni kontemporer yang berdialektika dengan unsur wilayah perkotaan; semisal respon musikal terhadap perkotaan, respon sastra terhadap ke-kini-an; respon tarian terhadap perubahan waktu, respon lukisan terhadap emosi perkotaan yang di diskusikan dalam bahasa seni pula bukan bahasa aneh selemak peak lainnya yang kerap dipertontonkan oleh artist wannabe berselimut homo academicus tak sadar umur dan diserang mental disorder. Sebagai gambaran, di Medan, orangnya suka ber-dewan (kumpul), ada yang berisi namun adapula pokrol bambu (!). Jadi, Dewan Kesenian itu apa ? Duduk ber-dewan sambil tebar-tebar kicon dan minum kopi atau memikirkan kesenian secara komrephensif ? Kalau memang tak perlu ada atau un-faedah baiknya bubarkan saja Dewan Kesenian Medan, dan perlu juga anak muda menginisiasi Dewan Kesenian Medan dengan seni kontemporer agar Dewan Kesenian Medan memahami esensi seni itu apa ? Bukan sekedar embel-embel jabatan politis dengan mengatasnamakan ke-seni-an dan ke-budaya-an Kota Medan, kota ini butuh apresiasi seni kontemporer bukan logical fallacy dan pseudo-artist atas seni yang selama ini dipraktikkan, karena kritik bukan ancaman dan sikap kritis bukan pembangkangan.


****

Referensi

Barthes, Roland. The Death of the Author . 1967. (https://writing.upenn.edu/~taransky/Barthes.pdf)

Doorman, Maarten. Art in Progress; A Philosophical Response to the End of Avant-Garde. Amsterdam University Press, 2009.

Scharfstein, Ben-Ami. Art Without Borders; A Philosophical Exploration of Art and Humanity. The University of Chicago Press, 2009.

Supangkat, Jim dan Rizki A. Zaelani. Ikatan Silang Budaya; Seni Serat Biranul Anas. Penerbit KPG, 2006.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumah Sakit Deli Maatschappaij; Ikon Sejarah Kesehatan dan Aspek Legalitas

Krisis Metode Penelitian Antropologi (Observasi Partisipasi Dan Kedudukan Peneliti Dalam Suatu Penelitian Antropologi)

BAGAS GODANG; Simbol Ornamentasi Rumah Tradisional Mandailing