Globalisasi Gombalisasi

GLOBALISASI ATAU GOMBALISASI ?

Ibnu Avena
(Universitas Sumatera Utara)

Keywords : globalisasi pada setiap negara berkembang menimbulkan dua hal yang cukup signifikan, yaitu kemajuan teknologi atau kemiskinan dan penjajahan global, setiap kita sebagai individu tentunya memiliki intuisi untuk menghadapi hal tersebut, sekarang yang ada apakah kita diam dan menerima hal tersebut atau menolak keras hal tersebut.



Latar Belakang Masalah : Upaya-upaya dalam menjadikan kehidupan manusia sekarang ini untuk menjadi lebih kompleks ternyata berdampak semakin meningkatnya kemiskinan pada tiap-tiap negara yang secara langsung mengguncang kondisi perekonomian, apabila kondisi perekonomian telah terguncang maka perusahaan-perusahaan yang merupakan presentasi dari negara-negara maju mulai menancapkan pengaruhnya terhadap masyarakat-masyarakat tertinggal dan miskin.


Kemiskinan adalah merupakan suatu kondisi yang terjadi pada individu maupun sekelompok masyarakat yang disebabkan oleh proses tidak siapnya individu ataupun sekelompok masyarakat tersebut atas kemampuan yang ada dan berlaku dilingkungan masyarakat tersebut.
Kemiskinan yang terjadi sekarang ini adalah suatu contoh dari kemiskinan global, dimana masyarakat tiap-tiap negara tidak siap dan tidak memiliki cukup kemampuan seperti yang diharapkan oleh kondisi lingkungannya. Kemiskinan seperti ini merupakan bagian dari suatu upaya besar “penjajahan material[1]”, bentuk penjajahan seperti ini tidak lagi menitikberatkan pada persoalan fisik akan tetapi lebih kepada ketergantungan terhadap produk-produk yang dikembangkan dan disebarluaskan oleh negara-negara maju.
Coca-cola, McDonald [2] adalah sebagian kecil dari upaya penjajahan material yang ada sekarang ini, setiap individu yang ditanya akan icon ini tentu akan mengenal produk tersebut, tetapi kita sebagai masyarakat tidak menyadari kehadiran kita ditengah-tengah hal tersebut sebagai suatu upaya pemiskinan global dan penjajahan material.
Bencana alam tsunami di Aceh dapat menggambarkan hal tersebut, ketika bencana tersebut datang bantuan dari segala pihak berdatangan, salah satunya Unilever, ketika bencana tersebut terjadi Unilever dan semua pihak memberikan bantuan dalam skala besar secara cuma-Cuma tetapi tanpa disadari sekarang ini pada umumnya masyarakat Aceh memiliki ketergantungan terhadap produk-produk Unilever dan yang lainnya.
Pemiskinan global dan penjajahan material tidak lepas dari peranan teknologi sekarang ini, teknologi komunikasi yang semakin canggih mendorong hal tersebut muncul dan berkembang, sebagai contoh Indonesia melalui perusahaan telekomunikasi nasional (Indonesia Satelit – Indosat) mayoritas saham terbesar dimiliki oleh perusahaan telekomunikasi Singapura, secara langsung dan tidak langsung hal tersebut sudah menjadi ancaman terbesar terhadap pertahanan nasional. Setiap tindak-tanduk dan perbuatan dapat diintai oleh pihak-pihak yang tidak kita ketahui maksud dan tujuannya, hal ini semakin memperbesar peluang Indonesia untuk “dijajah secara materi” oleh pihak-pihak yang berkepentingan, belum lagi sebahagian besar masyarakat Indonesia yang Brain minded[3] dan gengsi yang besar, semuanya mencoba setiap produk luar negeri agar tidak dikatakan kampungan, tetapi mereka semua hanya menjadi korban perbuatan mereka yang gagap dan menyerap secara instant hal tersebut, lihat saja di negara asalnya beefsteak dimakan dengan kentang dan sayuran lainnya di Indonesia orang berlomba-lomba makan steak dengan nasi, makan di McDonald di negara asalnya sebagai makanan cepat saji dimakan dengan kentang goreng di Indonesia orang makan McDonald memakai nasi ditambah lagi memakannya dengan menggunakan tangan, kemunculan warung kopi global seperti Starbucks ramai-ramai masyarakat Indonesia mencobanya hanya untuk mengejar prestise semata karena harga di Starbucks dinilai dengan dolar Amerika, padahal semua produk tersebut dari segi rasa dan kualitas tidak jauh beda dengan yang dijual di pasar-pasar tradisional malahan produk lokal jauh lebih berharga dan lebih nikmat dari produk luar tersebut. Masyarakat Indonesia saat ini hanya memiliki kemampuan mencicipi produk-produk luar dari barang yang bermerek “cakar atau cap karung, barang monza”, untuk mengatasi hal-hal seperti ini masyarakat indonesia hanya memerlukan usaha dan kreativitas agar dapat menyaingi setiap produk-produk luar tersebut bukan hanya bisa mengkopi hal-hal tersebut secara mentah-mentah, hal ini tentunya didukung oleh budaya yang menganggap bahwa belum tentu setiap produk dari luar itu bagus serta diperkuat oleh perubahan-perubahan yang tidak secara instant terjadi, dinegara-negara maju (Amerika, Eropa) semua hal yang mereka lakukan sekarang ini merupakan bagian dari proses panjang yang telah mereka jalani dari dahulunya sedangkan kita hanya bisa mengikuti proses perubahan tersebut pada masa puncak tanpa mengikuti dari awal terjadinya proses perubahan tersebut terjadi, yang ada hanya kita sebagai manusia dunia ketiga yang kehadirannya tidak diperhitungkan dalam kancah global.
AKAN KAH KITA TERUS BEGINI ATAU MENCOBA MENERIAKKAN HAL- HAL YANG TIDAK SESUAI DENGAN ADAT, ADAB DAN KEBUDAYAAN KITA ?
Jawaban hanya ada pada diri kita masing-masing.
Secara strukturalis usaha-usaha yang tampak sekarang ini pada segi finansial dan ekonomi merupakan wujud invisible untuk menginvasi setiap individu masyarakat Indonesia melalui unit usaha dan produk yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara luas. Struktural dalam hal ini merupakan bentuk pemiskinan secara bertahap dengan tujuan untuk menyebabkan seseorang tersebut miskin tanpa disadari secara langsung, beribu-ribu masyarakat Indonesia berlomba-lomba untuk mendapatkan pekerjaan sebagai buruh pada berbagai perusahaan penanaman modal asing maupun perusahaan local, sebagai gambaran upah minimum buruh di Indonesia setara dengan kemampuan finansial gelandangan (marginal society) pada negara maju, lalu mengapa perusahaan-perusahaan berlomba-lomba untuk merekrut buruh secara massal di Indonesia ? jawabannua karena buruh Indonesia merupakan buruh produktif dengan upah yang minimum yang menyebabkan perusahaan tidak mengeluarkan dana besar untuk menjalankan kegiatan produksi.
Mengapa hal-hal yang merugikan seperti hal yang telah dijelaskan sebelumnya tetap saja berlangsung walaupun telah diberikan contoh nyata atas apa yang sebenarnya terjadi karena masyarakat Indonesia pada umumnya telah mengalami indoktrinisasi melalui komunikasi globalisasi sehingga memunculkan anggapan bahwa setiap produk dari negara luar merupakan suatu produk masterpiece dan layak untuk dikonsumsi walaupun pada kenyataannya banyak yang tidak mengetahui untuk apa produk tersebut dipergunakan. Seharusnya hal ini menjadi cambuk bagi produsen lokal meningkatkan kualitas produknya akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya para produsen dan konsumen tidak lagi malu untuk menjadi pengikut dan mencontoh mentah-mentah budaya antah berantah yang kemungkinan besar tidak sesuai dengan budayanya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA :
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi 1, Rineka Cipta, Jakarta, 1996.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi 2, Rineka Cipta, Jakarta, 1997.
Koentjaraningrat, Teori Antropologi 2, UI-Press, Jakarta, 1997.
Safrin, Antropologi Ekonomi, -----, Jakarta, 1999.


Profil penulis :
Ibnu Avena, Mahasiswa departemen Antropologi, Fakulktas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara (FISIP-USU), sekarang ini penulis masih menjalani proses perkuliahan S-1 dan berada pada semester 7.
[1] Penjajahan material adalah bentuk dari join coorporate dari perusahaan-perusahaan besar dalam menanamkan pengaruh produknya terhadap masyarakat negara berkembang yang nantinya akan menimbulkan ketergantungan bagi masyarakat tersebut akan produk-produk mereka.
[2] Merek-merek dagang seperti Coca-cola amatil, McDonald, Starbucks adalah merek atau icon dari keberhasilan ekonomi Amerika dalam mengkooptasi aspek kehidupan manusia, di Amerika berulangkali perusahaan-perusahaan dikenai sanksi karena pencemaran, hak-hak tenaga kerja mereka di beberapa negara dimana mereka memiliki franchise atau jaringan waralaba tidak diperhatikan, hal ini terkadang kita lupakan saat kita menikmati produk-produk tersebut.
[3] Brain minded atau brain mynded adalah suatu simbol linguistik dalam menyatakan perilaku manusia yang sangat mengagung-agungkan merek-merek atau icon dagang tertentu.

Komentar

IKHWAN.M mengatakan…
halo Cok, selamat.... akhirnya kita-kita semua Wisuda.

tapi satu hal yang tersisa, dibalik seluruh manifestasi diri melalui paradigma dan kamuflase wacana, serta intimidasi publik yang sering kita lakukan lewat wacana,....

pada akhirnya ente harus sadar bahwa :
"seorang pria merdeka dan bebas adalah seorang pria yang mampu mengendalikan dirinya dan memegang penuh kekuasaan atas perempuannya, ...tidak pernah sebaliknya."

mari bunuh sisi romantis yang bodoh dan sempit itu....

long live Emocore dengan nyanyian sedih atas balada romansa dengan wanita.

viva humanis, sosialis, radikalis!!!
Lucki Armanda mengatakan…
keren bro blog nya,...mantaaaapppp....

Postingan populer dari blog ini

Antropologi Visual

BAGAS GODANG; Simbol Ornamentasi Rumah Tradisional Mandailing

Krisis Metode Penelitian Antropologi (Observasi Partisipasi Dan Kedudukan Peneliti Dalam Suatu Penelitian Antropologi)