Mimesis; Membaca Kultur Politik Kaum Muda
MIMESIS;
Membaca Kultur Politik Kaum Muda
Ibnu
Avena Matondang
Perilaku
Politik Kaum Muda dalam Perspektif Antropologi
14
Mei 2014
R.
Sidang FISIP – USU
That
I feel inside, I'm tired of all the lies
Don't
nobody know why
It's
the blind leading the blind
.
. .
We
are, we are youth of the nation
(Youth
of the Nation - Payable on Death).
Pengantar
Pemilu
legislatif yang telah berlalu menyisakan beragam pertanyaan yang
terkait dengan kurangnya minat masyarakat untuk turut serta
memberikan “suara”, dalam hal ini yang menjadi perhatian penting
adalah sumbangsih “suara” oleh kalangan kaum muda yang masih
terbilang kecil dari segi jumlah.
Imitasi
sosial adalah salah bentuk perilaku politik yang dilakukan oleh kaum
muda secara umum, hal ini didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan
politik kaum muda yang bersifat terbatas. Selain itu minimnya
informasi mengenai latar-belakang, visi dan misi calon legislatif
yang berkompetisi dalam ajang pemilu turut menguatkan perilaku
imitasi sosial pada kaum muda ini.
Rentang
usia yang tercipta antara kaum muda sebagai pemilih dengan kaum
dewasa sebagai dipilih turut berkontribusi besar terhadap keengganan
kaum muda untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan pemilu.
Tulisan
ini akan mendiskusikan mengenai keikutsertaan kaum muda sebagai
bentuk perilaku politik dari sudut pandang kultural.
Kaum Muda dan
Kultur dalam Perilaku Politik
Kaum
muda memiliki kehidupan dengan perspektifnya tersendiri, dan juga
diidentikkan dengan sifat energik, minim pengalaman, bebas. Bentuk
kehidupan tersebut haruslah dibaca dari sudut pandang anak muda juga.
Terdapat
suatu pandangan umum mengenai posisi kaum muda yang terkadang menjadi
“jebakan” dalam perkembangan sosial, kultural dan politik kaum
muda. Pandangan mengenai kaum muda dalam strata keluarga yang
dianggap sebagai generasi penerus (memuat nilai, perilaku dan
pemikiran) yang sama dengan “keinginan” orangtua atau dianggap
sebagai patron orang tua - anak, menyebabkan kaum muda memiliki beban
dalam membentuk perkembangan sosial, kultural dan politik.
Historis
kultural memberi deskripsi mengenai kaum muda yang memiliki pengaruh
dari beragam latar belakang kebudayaan di beragam wilayah, kaum muda
dianggap sebagai generasi yang memiliki pengaruh dan kemampuan
mumpuni serta dianggap sebagai representasi masa depan. Kenyataan ini
seakan pudar melihat kenyataan terhadap keberadaan kaum muda
(khususnya dalam perilaku politik) yang dianggap punah dan sirna.
Kaum
muda yang terentang usia mulai 16 tahun hingga 30 tahun1
dalam komposisi masyarakat secara luas menempati posisi bawah dalam
kegiatan politik di negeri ini, beragam posisi strategis diduduki
oleh kaum dewasa dari segi usia. Kondisi ini membawa pengaruh yang
signifikan dalam menentukan perilaku politik kaum muda pada masa-masa
mendatang.
Pandangan
mengenai kaum muda yang memiliki energi besar, kemauan, bebas dan
minim pengalaman justru tidak dijadikan sebagai modal untuk turut
serta dalam kegiatan politik melainkan dipergunakan sebagai bentuk
floating mass dalam keadaan
dan posisi tertentu oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Keikutsertaan kaum muda dalam pemilu 2014 dijadikan sebagai
percontohan terhadap suara kaum muda secara umum, namun hal ini
membutuhkan durasi waktu yang panjang untuk sampai pada tujuan, yaitu
keikusertaan kaum muda dalam politik secara aktif.
Mimesis: Kultur Politik Anak Muda
Secara kultural, perilaku politik kaum muda pada pemilu 2014 dilihat
sebagai bentuk perilaku imitasi sosial yaitu perilaku
meniru/mencontoh tanpa disertai adanya pengalaman dan pengetahuan
yang memadai akan hal tersebut. Hal ini tergambar dari keikutsertaan
kaum muda dalam pemilu 2014 dalam jumlah terbatas dan kegamangan kaum
muda dalam memilih calon legislatif yang mereka pilih.
Imitasi
sosial yang dilakukan oleh kaum muda merupakan bagian dari pola
perilaku mimesis sederhana, yaitu suatu pola perilaku mencontoh dari
mediator2
(melalui: pengenalan dini, pendidikan politik skala kecil).
Mimesis sebagaimana dikemukakan Girard (1966) sebagai bentuk
pengaruh mediator terhadap aktor dalam menentukan pilihan dan juga
memberikan kebebasan pilihan tersendiri bagi keduanya. Imitasi sosial
dalam perilaku politik kaum muda justru tidak bergerak dan berkembang
menjadi suatu pola mimesis yang dapat menjadikan kaum muda sadar akan
perilaku dan pilihan politiknya.
Untuk
dapat mengembangkan dan menjadikan kaum muda sadar akan perilaku dan
pilihan politiknya, diperlukan adanya pendidikan politik bagi kaum
muda dengan perspektif youthsphere
yang selama ini hanya terbatas pada konteks menjelang pemilu. Pada
masa-masa setelah pemilu, justru pengenalan dan pendidikan politik
bagi pemula (kaum muda) tidak berjalan lancar bahkan cenderung
ditutup.
Mimesis pada kaum muda terbatas pada pengetahuan mendasar mengenai
tata cara pemilih dan administrasi pemilu tanpa disertai dengan
adanya pendidikan politik skala lanjutan dalam melihat latar belakang
calon legislatif (yang akan dipilih), menilai calon legislatif
berdasarkan visi dan misi bahkan juga mencapai mengenai tata cara
pertanggung-jawaban calon legislatif kepada konstituen (apabila
terpilih). Hal tersebut dapat diimbangi melalui pendidikan politik
yang aktif dan bersih kepada para calon legislatif, sehingga dapat
memandang kaum muda sebagai sumber suara yang potensial dan juga
berkontribusi terhadap perkembangan perilaku politik kaum muda.
Perkembangan
perilaku politik kaum muda yang menjadi bentuk imitasi sosial
menjadikan kaum muda sebagai bagian dari silent generation
yang terkesan menolak sistem dan menolak keikutsertaan dalam ranah
politik (praktis) serta terkesan tidak peduli dengan keadaan,
kecenderungan perkembangan ini disatu sisi mampu membangun kesadaran
pemuda akan situasi sosial dan politik namun disisi lain hal ini
menjadi bentuk legitimasi terhadap ketidakhadiran (terbatas) peran
kaum muda dalam perjalanan politik di negeri ini.
Penutup
Kaum muda membutuhkan ruang untuk mengekspresikan kegiatan politik
(yang selama ini terbatas, baik secara usia dan pengalaman), hal ini
dapat diatasi dengan penggunaan pendekatan kultural kaum muda melalui
adanya pengenalan dan pendidikan politik sejak dini dan
berkelanjutan.
Pendekatan
kultural pada perilaku politik kaum muda dapat dimulai dengan memberi
pengenalan pada dunia politik melalui cara-cara sederhana dan
menyentuh perspektif kaum muda (youtsphere)
yang memiliki nilai-nilai kemauan, penuh ketertarikan, berani dan
bebas. Membuka kesempatan pada kaum muda untuk turut serta pada
beragam kegiatan politik dapat menjadi nilai terhadap pengakuan
keberadaan kaum muda dengan perilaku politiknya.
Keberadaan
kaum muda dengan perspektif dan problematikanya menyimpan potensi
besar dari segi jumlah, ide, perilaku yang kelak akan menentukan masa
depan politik bangsa ini.
Penting
untuk melihat kaum muda sebagai representasi masa depan yang hadir
pada masa kini, dengan kemampuan yang terus diasah melalui perjalanan
waktu menjadikan kaum muda yang memiliki perilaku politik aktif dan
mewarnai perjalanan politik di negeri ini.
Referensi
Girard,
R. (1966), Deceit,
Desire and the Novel: Self and Other in Literary Structure.
Engl. Translation
by Y. Freccero (Baltimore: Johns Hopkins
University Press).
Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan
Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
1Undang-undang
Kepemudaan Nomor 40 tahun 2009 Pasal 1 Ayat 1 mengenai batasan usia
pemuda Indonesia, bandingkan dengan usia minimal pemilih menurut
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 Pasal 1 Ayat 25 yang berbunyi :
“Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berusia 17
(tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin”.
2Mediator
dalam konteks ini bisa berupa individu atau kelompok yang memiliki
kaitan dengan aktor ataupun tidak, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Komentar