Me-merdeka-kan Lapangan Merdeka; Tulus atau Latah ?


Beberapa waktu ini, wacana me-merdeka-kan Lapangan Merdeka – Medan kembali muncul seiring dengan telah berdirinya bangunan bertingkat dua di salah satu sisi lapangan merdeka – Medan yang diperuntukkan bagi pedagang buku dan lokasi parkir. Sebuah wacana 'klasik' yang selalu saja diperdebatkan antara estetika ruang versus fungsi; realitas versus persepsi yang bertelikung-selingkuh antara motif ekonomi-politik lokal yang terus-menerus “digoreng” untuk menuai sekedar pencitraan atau apapun namanya. Kemunculan wacana ini juga diikuti oleh kemunculan beragam pihak (individu—kelompok) yang mengatasnamakan kepentingan aksesbilitas ruang publik hingga pada kepentingan historis romantis nihil (!).
Sejatinya, Lapangan Merdeka – Medan yang awalnya disebut sebagai Medan Esplanade tersebut adalah konstruksi arsitektural yang dibawa oleh pihak kolonial untuk menciptakan romantisme daerah asal para penggerak roda kolonial; aparat pemerintahan, dan pengusaha agar dapat memenuhi kebutuhan psikologis mereka atas daratan Eropa yang terpisah jauh dengan kepulauan Sumatera, tepatnya Kota Medan.
Sebagai ruang terbuka, Medan Esplanade menyuguhkan suatu kepentingan pentas politis kolonial melalui beragam penggunaan, seperti upacara, atau pertandingan olahraga (dalam hal ini sepakbola, yang mana pada masa kolonial dengan membawa nama Hindia-Belanda tim sepakbola negeri ini turut serta dalam perhelatan kejuaraan sepakbola dunia).
Berganti masa dan berganti penguasa, Medan Esplanade kemudian menjadi lapangan terbuka yang menjadi media politik penguasa imperialis Jepang untuk menyuguhkan beragam trik-trik politik kekuasaan imperialis. Tak lama kemudian, Medan Esplanade menjadi ajang terbuka pembacaan pesan kemerdekaan dan pernyataan sikap atas kemerdekaan (yang kemudian dianggap sebagai legitimasi kepentingan atas keberadaan Lapangan Merdeka – Medan hingga saat ini).
Lapangan yang terhampar barisan rumput hijau itu bersebelahan tepat dengan stasiun besar kereta api Kota Medan, awalnya lapangan itu diperuntukkan sebagai ruang publik yang dapat diakses masyarakat dan juga ruang untuk menampung kegiatan perkeretaapian. Sehingga keberadaan lapangan merdeka – Medan tidak lepas dari ekologi kultur masyarakat yang menopang kegiatan disekitaran wilayah tersebut.
Beranjak pada masa kini (katakanlah dimulai 1980 hingga 2015), Lapangan Merdeka – Medan tetaplah lapangan luas dengan hamparan rumput hijau yang masih menjadi ruang publik dengan beragam atribusi aktifitas, permasalahan kemudian muncul ketika publik dengan kenyataan gegar media dan terpaan paradigma modernitas mempersoalkan Lapangan Merdeka – Medan yang dianggap “belum merdeka” dari kepentingan politik penguasa.
Fakta hingga saat ini adalah, tugu hitam yang berdiri sebagai simbol kemerdekaan tak pernah disentuh sebagai bagian dari upacara peringatan hari kemerdekaan bahkan dipergunakan sebagai tempat istirahat pengemis; tempat kencing; lokasi olahraga; tempat sampah raksasa hingga lokasi pacaran (sejenis maupun tak sejenis).
Tak jauh berbeda, “pendopo” Lapangan Merdeka – Medan juga memiliki kondisi yang sama dengan tugu hitam tersebut. “pendopo” yang dipergunakan sebagai pentas para pejabat agar terhindar dari panasnya sengatan matahari dan siraman air hujan juga “dikuasai” oleh segerombolan pendatang yang kemudian dianggap sebagai lapak mereka (bahkan menjadi hak pengelolaan mereka hingga lahan parkir).
Bahkan, ketika pos polisi lalu-lintas berpindah posisi demi pembangunan “Merdeka Walk” seakan semua pihak diam dan mengaminkan perbuatan tersebut. Kabarnya proses pembangunan restoran waralaba cepat saji yang menggantikan posisi pos polisi lalu-lintas pernah terkena “ketok cantik” karena tak memenuhi persyaratan izin bangunan, (lagi dan lagi) semua pihak diam atas nama pembangunan dan penataan kota.

Ketika beragam pihak mengusung wacana “me-merdeka-kan Lapangan Merdeka – Medan”, (mungkin) perlu untuk melihat bahwa wacana adalah suatu kreasi fikir yang terikat waktu dan tempat serta kepentingan; wacana sebagai media kompromis—dialogis; wacana sebagai mirroring sikap dan juga wacana sebagai kebebasan individual. Ada baiknya, semua pihak untuk berfikir ulang dan merenung bahwa “me-merdeka-kan Lapangan Merdeka – Medan” adalah suatu hal yang debatable; perang argumen tak berkesudahan, sementara masyarakat menanti bukti bukan sekedar “kongkow-kongkow” para akademisi dengan beragam gimmick dan yang sulit dimengerti secara sederhana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGAS GODANG; Simbol Ornamentasi Rumah Tradisional Mandailing

Antropologi Visual

Krisis Metode Penelitian Antropologi (Observasi Partisipasi Dan Kedudukan Peneliti Dalam Suatu Penelitian Antropologi)