Me-merdeka-kan Lapangan Merdeka; Tulus atau Latah ?
Beberapa waktu ini, wacana me-merdeka-kan Lapangan Merdeka – Medan kembali muncul seiring dengan telah berdirinya bangunan bertingkat dua di salah satu sisi lapangan merdeka – Medan yang diperuntukkan bagi pedagang buku dan lokasi parkir. Sebuah wacana 'klasik' yang selalu saja diperdebatkan antara estetika ruang versus fungsi; realitas versus persepsi yang bertelikung-selingkuh antara motif ekonomi-politik lokal yang terus-menerus “digoreng” untuk menuai sekedar pencitraan atau apapun namanya. Kemunculan wacana ini juga diikuti oleh kemunculan beragam pihak (individu—kelompok) yang mengatasnamakan kepentingan aksesbilitas ruang publik hingga pada kepentingan historis romantis nihil (!). Sejatinya, Lapangan Merdeka – Medan yang awalnya disebut sebagai Medan Esplanade tersebut adalah konstruksi arsitektural yang dibawa oleh pihak kolonial untuk menciptakan romantisme daerah asal para penggerak roda kolonial; aparat pemerintahan, dan pengusaha agar dapat memenuhi kebutuhan