Postingan

Seingatku, memang seperti ini (!)

Sekitar lima tahun yang lalu ketika aku selesai menamatkan studi strata satu dan sambil mocok-mocok (kerja serabutan) bersama salah seorang dosen terselip satu pembicaraan yang cukup kuingat hingga kini dan kuyakini bahwa percakapan itu benar adanya hingga saat ini. Tersebutlah pada siang yang panas, dosen itu berkata “abis tamat ini mau kemana kau Nu ?” Katanya kepadaku, langsung aku menjawab “lanjut kuliah lah mungkin, kalau ada duit”, ia langsung menyergah dan berkata “ngapain kau kuliah lagi, bagus kau duduk di ruangan itu (sambil menunjuk salah satu ruangan seperti perpustakaan dimana buku-buku berserakan), kau baca itu semua sampai habis, keluar dari sini udah setara doktor kau itu, percayalah !.” Katanya padaku. Sugest itu berlaku dalam kurun waktu tahun-tahun berikutnya, hari demi hari kuhabiskan duduk di ruangan itu mengerjakan pekerjaan dan sambil membaca buku demi buku, dari filsafat merambat ke agama kemudian menjalar ke novel bertautan pada studi kebudayaan hin

Mitos

Dalam suatu diskusi beberapa waktu yang telah lalu, kata “mitos” menurut salah seorang peserta diskusi “janganlah disalahartikan, ketahui apa beda diantara; mitos, legenda, cerita dan lain sebagainya,” mungkin ada benarnya pendapat ini akan tetapi mungkin sebanding juga dengan salah yang dimiliki pendapat ini. Mitos, selalu diulang-ulang dalam kehidupan, percakapan “pinggir paret” hingga percakapan “ruang kelas” pun tak luput membahas fenomena mitos ini. Tapi siapa yang menyangka ketika diskusi mengenai mitos ternyata “lebih ke mitos” daripada “lebih ke strukturalism.” Kenapa jadi strukturalis ? Karena strukturalis merupakan dasar pijakan untuk membahas lebih lanjut mengenai mitos. Vico, Jakobson, Saussure, Derrida, Levi-Strauss, Barthes adalah nama-nama yang berkelebat dalam setiap pembahasan mengenai struktural (dengan tidak menafikkan beberapa nama lainnya). Bagi sebahagian orang, melihat bahkan mendengar nama-nama tersebut bertanya-tanya dan kadangpula merasa pening sesa

Me-merdeka-kan Lapangan Merdeka; Tulus atau Latah ?

Beberapa waktu ini, wacana me-merdeka-kan Lapangan Merdeka – Medan kembali muncul seiring dengan telah berdirinya bangunan bertingkat dua di salah satu sisi lapangan merdeka – Medan yang diperuntukkan bagi pedagang buku dan lokasi parkir. Sebuah wacana 'klasik' yang selalu saja diperdebatkan antara estetika ruang versus fungsi; realitas versus persepsi yang bertelikung-selingkuh antara motif ekonomi-politik lokal yang terus-menerus “digoreng” untuk menuai sekedar pencitraan atau apapun namanya. Kemunculan wacana ini juga diikuti oleh kemunculan beragam pihak (individu—kelompok) yang mengatasnamakan kepentingan aksesbilitas ruang publik hingga pada kepentingan historis romantis nihil (!). Sejatinya, Lapangan Merdeka – Medan yang awalnya disebut sebagai Medan Esplanade tersebut adalah konstruksi arsitektural yang dibawa oleh pihak kolonial untuk menciptakan romantisme daerah asal para penggerak roda kolonial; aparat pemerintahan, dan pengusaha agar dapat memenuhi kebutuhan

Pendidikan di Negeri ini !

Gambar
Pendidikan tidaklah dinilai dari penampilan seseorang !, melainkan apa yang ada disebalik otak, pikiran dan hati. Sehingga tak pula dapat dinilai apabila penampilan seseorang jelek maka pemikirannya jelek, hal itu hanyalah persepsi bukan realita.
MAHA PUJA THAIPUSAM Sebagai Bentuk Wisata Pilgrim di Kota Binjai Avena Matondang Secara definisi, pariwisata pilgrim ditujukan khusus kepada para penganut agama tertentu yang ingin mengunjungi daerah-daerah yang erat kaitannya dengan agama yang mereka peluk, dan mengunjungi tempat-tempat beribadah yang memiliki nilai sejarah. Walaupun dalam bentuk aplikasinya, kegiatan wisata pilgrim tidak terikat pada ruang dalam artian tidak selalu mengarah pada tempat dimana agama tersebut berasal. Bergerak dari definisi mengenai wisat pilgrim, maka tulisan ini akan membahas mengenai kegiatan wisata pilgrim yang dilakukan oleh etnik Tamil beragama Hindu yang mengunjungi Shri Mariamman Koil di Kota Binjai, Sumatera Utara. Kegiatan wisata pilgrim di lokasi tersebut adalah perayaan Maha Puja Thaipusam, yaitu peringatan kemenangan kebaikan atas kejahatan. Untuk membahas lebih lanjut mengenai hal tersebut, maka pembahasan akan terbagi atas beberapa bagian, yaitu : bagian def
Gambar
DESA NELAYAN – BELAWAN Diantara Realitas atau Propaganda Kemiskinan (?) AVENA, Matondang Pengamatan dan penelitian yang dilakukan di Desa Nelayan – Belawan, Medan bertujuan sebagai aksi dari pembelajaran metodologi penelitian sosial, selain itu aspek lain yang diperhatikan dalam pengamatan ini adalah kehidupan masyarakat sehari-hari dan faktor kemiskinan yang tampak secara eksplisit. Faktor kemiskinan sebagaimana yang tampak secara kasat mata di daerah tersebut tidak sepenuhnya mengandung kebenaran, hal ini berdasarkan pernyataan informan dilapangan yang menyebutkan adanya sistem arisan antar keluarga dengan jumlah uang yang berputar sekitar 5 juta Rupiah dan iuran bulanan berjumlah Rp. 300.000.- (tiga ratus ribu rupiah). Pernyataan-pernyataan yang mengatasnamakan kemiskinan merupakan 'istilah' yang sepertinya diciptakan sekelompok orang atau lembaga untuk mempolitisi keadaan di Desa Nelayan – Belawan, Medan dengan tujuan mengeruk keuntungan. Pernyataa

Rumah Sakit Deli Maatschappaij; Ikon Sejarah Kesehatan dan Aspek Legalitas

Gambar
Rumah Sakit  Deli Maatschappaij ; Ikon Sejarah Kesehatan dan Aspek Legalitas Ibnu Avena Matondang Keberadaan bangunan bersejarah tidak lepas dari ikon atau karakteristik yang terbangun dalam proses perjalan waktu, ikon atau karakteristik tersebut memberi warna dalam ruang secara wilayah dan juga turut memberi aksen pada perjalanan panjang sejarah. Tulisan ini akan membahas mengenai keberadaan Rumah Sakit Tembakau Deli, Medan yang dalam konteks bangunan bersejarah dan perkembangannya yang disertai dengan aspek legalitas bangunan bersejarah di Kota Medan. Keberadaan Rumah Sakit Tembakau Deli memegang peran yang penting dalam perkembangan Kota Medan, tidak saja sebagai materi bangunan namun juga pada aspek sosial-budaya yang melingkupi bangunan tersebut sebagai rumah sakit tertua yang berada di Kota Medan dengan segala usaha kesehatan. Pembahasan awal dimulai dengan keberadaan perkebunan dan kereta api sebagai acuan keberadaan bangunan