Postingan

Smart Gadget or Idiot User

Gambar
Dimulai dari ketika zaman bersiap menghadapi era Y2K, aku sudah duduk manis dan menatap layar monitor berukuran 15” di salah satu warung internet di sudut Jalan Sekip Kota Medan, untuk sekedar bercengkrama melalui fasilitas sosial media mIRC internet relay chat , yang kupelajari sendiri dan bertanya dengan mereka yang di kiri atau kanan berbatas kayu sepandangan mata, bagaimana mengirim pesan, bagaimana masuk dalam forum hingga bagaimana menggunakan bot (kalau tidak mengerti dengan istilah bot , sila layari laman google karena ini bicara tentang teknologi dan bersifat teknis), membuat E-mail atau electronic mail yang dalam bahasa Indonesia disebut surat elektronik pun aku berusaha sendiri. Saat itu kupilih ekstensi .cbgb sebagai alamat email dikarenakan trend , style dan juga duniaku bersosialisasi yang pada umumnya pemusik punk dan sk8 pada masa itu. Perlu juga kuberikan apresiasi bagi mereka yang pada masa itu mau berlama-lama di depan layar monitor komputer untuk bela

ini zaman plastik !

ini zaman plastik ! Awalnya, tulisan ini melihat realita saat ini yang diisi dengan kerja mata secara monoton dengan melihat layar berukuran kecil bila dibandingkan inci layar televisi, yaitu layar gawai yang memvisualkan beragam ombak berita yang siap menerjang isi kepala secara cepat, entah itu benar atau salah itu perkara belakangan. Bayangkan saja, pertikaian bisa muncul tidak hanya karena didasarkan atas perbedaan dukungan terhadap salah satu calon pemimpin daerah, melainkan juga perbedaan paradigma mengenai “dunia datar dan dunia bulat,” persoalan adab terbaru “komik” dengan konten perkelaminan.          Tulisan ini tidak akan membahas satu persatu soalan tersebut karena aku saja sudah lelah untuk membicarakan hidupku sendiri, seperti berteriak sendiri dalam kotak kubus tertutup. Akan tetapi, tulisan singkat ini bertujuan untuk menggugah kesadaran secara individual, akan suatu bentuk sadar diri, sadar posisi, bahkan sadar akan keberadaan.             Mahluk

Sebuah Catatan yang Tertinggal; Suatu Pengalaman Antropologi Kesadaran

Sebuah Catatan yang Tertinggal; Suatu Pengalaman Antropologi Kesadaran  Dalam kurun waktu setahun belakangan ini, aku secara personal bertemu dengan beberapa homo academicus yang setidaknya berada dalam ranah ilmiah; seniman, politisi, penyintas, dosen, aktivis dengan beragam latar belakang. Suatu keuntungan untuk dapat saling bertukar pendapat dengan mereka tersebut walaupun terdapat sedikit ke-enggan-an untuk berbicara lebih lanjut, terlebih pada isu politik yang telah berhasil menciptakan dikotomi secara permanen medio 2014 yang lalu. Awalnya aku berpegang teguh pada pandangan "setiap akademisi akan mampu berfikir secara kritis dan bertanggung jawab," begitulah yang kuyakini, walau pada suatu pembicaraan dengan seorang kerabat alumni perkuliahan mengatakan "tak semua seperti itu, ini hidup bang !" begitu katanya padaku. Seperti cairan pemutih yang kerap dipergunakan untuk membersihkan noda, kalimat kerabat itu berhasil membersihkan pemikir

Medan Pertarungan; Ruang Publik dan Invenire

Medan Pertarungan; Ruang Publik dan Invenire Avena Matondang Mendayagunakan pendapat Habermas 1 (1987:319), ruang publik adalah cara menyalurkan kompleksitas kebudayaan sehingganya ruang publik adalah ruang sosial interaksi yang dikonstruksikan oleh ekologi kehidupan manusia. Mungkin akan berbeda ketika melihat ruang publik Kota Medan yang dijajah oleh keinginan penguasa, semisal trotoir jalan yang tidak berfungsi seperti sediakala atau bahkan menjadi objek okupasi ketua-ketua kecil dengan beragam dalih. Dalam hal ini, ruang publik adalah perebutan ruang yang memerlukan keinginan kuat untuk menjadikan ruang publik menjadi milik publik seutuhnya, baik dengan bentuk kerjasama internal antar-publik maupun kerjasama dengan institusi pemerintah (walau tidak bisa berharap lebih pada bentuk kerjasama ini !.) Selayaknya kata “M-E-D-A-N” yang merupakan arena, atau gelanggang yang tiap-tiap orang memiliki kesempatan yang sama besar untuk mempertunjukkan sesuatu h

BAGAS GODANG; Simbol Ornamentasi Rumah Tradisional Mandailing

Pengantar Individu manusia dari berbagai suku yang tersebar di penjuru dunia memiliki kekayaan tradisi yang sangat beragam, kekayaan tradisi tersebut meliputi : kesenian, pengetahuan lokal, arsitektur, teknologi dan lain sebagainya yang juga berfungsi sebagai suatu penanda atau karakteristik suatu suku. Pemahaman mengenai kekayaan tradisi itu juga mencakup mengenai pengetahuan mengenai tempat tinggal atau pada umumnya dikenal dengan rumah. Rumah selain berfungsi sebagai tempat tinggal, juga memiliki pemaknaan lain yang berkaitan dengan sistem nilai tradisi yang berlaku pada masyarakat tersebut, dalam tulisan ini dibahas mengenai rumah tradisional masyarakat Mandailing. Dalam terminologi masyarakat Mandailing, rumah disebut sebagai bagas godang yang secara harfiah dapat diartikan sebagai rumah besar. Bagas godang masyarakat Mandailing memiliki beragam nilai budaya yang tersimpan dalam arsitekural bangunan bagas godang , nilai budaya tersebut berperan sebagai pandangan hidup m

Mimesis; Membaca Kultur Politik Kaum Muda

Gambar
MIMESIS; Membaca Kultur Politik Kaum Muda Ibnu Avena Matondang Perilaku Politik Kaum Muda dalam Perspektif Antropologi 14 Mei 2014 R. Sidang FISIP – USU That I feel inside, I'm tired of all the lies Don't nobody know why It's the blind leading the blind . . . We are, we are youth of the nation (Youth of the Nation - Payable on Death). Pengantar Pemilu legislatif yang telah berlalu menyisakan beragam pertanyaan yang terkait dengan kurangnya minat masyarakat untuk turut serta memberikan “suara”, dalam hal ini yang menjadi perhatian penting adalah sumbangsih “suara” oleh kalangan kaum muda yang masih terbilang kecil dari segi jumlah. Imitasi sosial adalah salah bentuk perilaku politik yang dilakukan oleh kaum muda secara umum, hal ini didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan politik kaum muda yang bersifat terbatas. Selain itu minimnya informasi mengenai latar-belakang, visi

Seingatku, memang seperti ini (!)

Sekitar lima tahun yang lalu ketika aku selesai menamatkan studi strata satu dan sambil mocok-mocok (kerja serabutan) bersama salah seorang dosen terselip satu pembicaraan yang cukup kuingat hingga kini dan kuyakini bahwa percakapan itu benar adanya hingga saat ini. Tersebutlah pada siang yang panas, dosen itu berkata “abis tamat ini mau kemana kau Nu ?” Katanya kepadaku, langsung aku menjawab “lanjut kuliah lah mungkin, kalau ada duit”, ia langsung menyergah dan berkata “ngapain kau kuliah lagi, bagus kau duduk di ruangan itu (sambil menunjuk salah satu ruangan seperti perpustakaan dimana buku-buku berserakan), kau baca itu semua sampai habis, keluar dari sini udah setara doktor kau itu, percayalah !.” Katanya padaku. Sugest itu berlaku dalam kurun waktu tahun-tahun berikutnya, hari demi hari kuhabiskan duduk di ruangan itu mengerjakan pekerjaan dan sambil membaca buku demi buku, dari filsafat merambat ke agama kemudian menjalar ke novel bertautan pada studi kebudayaan hin