Postingan

1000tenda dan Absurditas Kaum Milenial

1000tenda dan Absurditas Kaum Milenial Banyak yang mengejek kaum milenial dari keterikatan pada gadget , sikap individual hingga miskin wacana, berangkat dari ejekan itu muncul jawaban menepis segala keraguan terhadap kaum milenial, yakni kegiatan 1000tenda di Desa Meat, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba-Samosir. Desa yang harus dicapai oleh keinginan yang kuat karena terbatasnya akses transportasi dari dan menuju desa tersebut serta tentu saja akses jaringan internet yang terbatas (!). Beragam keterbatasan itu didobrak oleh kaum milenial dengan unjuk praktik; kebersihan, berwacana politik, jaringan yang luas, berbaur dan hal lainnya berlawanan dengan sikap skeptis generasi sebelumnya. Kegiatan 1000tenda di Desa Meat, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba-Samosir tidak hanya sekedar anjangsana pada kehidupan luar-ruang layaknya kegiatan camping lainnya melainkan pula membawa misi mencerdaskan kaum milenial dengan tetap menautkannya pada elemen kultural yang hakiki tanpa haru

Pandora Perbincangan; Brutal di Akhir Pekan

Terhitung beberapa hari yang lalu dalam satuan minggu, ada dua acara penting yang menjadi pokok perkara narasi ini; bedah buku berjudul “Panca In Dira/PID” karya Roby Fibrianto Sirait dan forum berbagi “What the Folk; Folk Musik Musnah?.” Kedua acara ini mengetengahkan persoalan mendasar mengenai ideologi dan filsafat seni yang mulai pudar ditengah perbincangan seni yang selalu memperbincangkan remeh-temeh seperti katak dibalik tempurung. Satu persoalan yang dibedah dalam ruang gawat darurat seni berupa buku “Panca In Dira/PID,” buku yang menuliskan tentang kisah antara dua anak manusia berbeda organ genital yang didekatkan tidak hanya oleh kisah romantism percintaan ala “Romeo dan Juliet” melainkan pula kisah percampuran antara kisah “Macbeth” dan “Around the World in 80 Days.”  Kompleksitas ide yang dituturkan secara brilian oleh penulis menghantarkan pembaca pada pengalaman ekstraterestrial yang membumi, tidak berupa pengalaman bertemu U.F.O ataupun dialektika bumi datar (

Pekak-pekak Badak; Wacana Seni Pop Kota Medan

Seni, kata yang sering diucapkan senafas dengan kata budaya, walau absurd ketika mengatakan bahwa seni adalah budaya atau vice versa . Memang kenyataannya di negeri gemah ripah loh jinawi dan kota kecil bersemboyan “Medan Rumah Kita” ini pengertian seni umumnya dipadankan dengan kata budaya untuk menegaskan bahwa proses kegiatan seni berangkat dari respon ekologis masyarakat yang pada praktiknya sering disalahartikan; entah karena ketidaktahuan secara pemikiran, entah pula karena kepentingan.      Seni itu multi kata; dari ke-seni-an hingga air seni, untuk memahami itu setidaknya unsur pemikiran dan tindakan harus selaras. Pembahasan mengenai wacana seni pop (meminjam dan menyingkat kata “populer—pop”) adalah bagian respon terhadap waktu yang harus diapresiasi bukan lantas dibubarkan dengan segala istilah pseudo academicus , lintasan waktu membuktikan tiap zaman memiliki kultur seni yang mendukung kultur seni sebelumnya atau mendekonstruksi kultur seni yang telah ada. Tak har

Arunika; Akar Bunyi Jalinan Nuswantara

Secepat kilat dan secepat emosi yang membumbung di langit-langit otak untuk menuliskan resensi mengenai penampilan Arunika malam ini (5/4/2018) di Caldera Coffee yang diinisiasi oleh Medan Creative Hub. Arunika yang merunut pada penuturannya telah berkreasi sejak 2017 masuk dalam kategori berhasil mempertunjukkan repertoir dengan apik dalam warna world music , walaupun wacana mengenai keabsahan world music masih terombang-ambing dalam lintasan zaman sebagaimana pernah dikemukakan dedengkot etnomusikologi, Bruno Nettl (2007, s urat elektronik pribadi kepada penulis bertarikh July 30, 2007 dalam membahas perbedaan antara antropologi musik dan etnomusikologi serta musik dan  world music ) sebagai bentuk “keperluan identitas” semata.   Repertoir demi repertoir yang dimainkan termasuk karya instrumental bertajuk “Akar” menengahkan problematika situasi terkini dalam bahasa musikal yang jernih dan sederhana dicerna oleh akal sehat, semisal lainnya repertoir “Raung Khatulistiwa” yang

POSEUR, IS THAT YOU ?

Beberapa hari lalu ketika acara peluncuran perdana Degil Zine di Burgerito diwarnai ludahan hujan yang melukis malam dengan warna rintik dan deras, sebenarnya aku sudah terlampau bosan untuk hadir di acara seperti itu tapi tak apa kurasa sebagai penanda dan kesediaan berhadir setelah diundang oleh gitaris merangkap vokalis Selat Malaka, Albert. Kenapa bosan ? Ya, rasa bosan yang menyeruak kurasa adalah hal yang wajar ketika kuping diperdengarkan dengan dentuman bunyi dan suara yang monoton; di jalanan, di televisi, itu-itu saja seperti tokoh legislatif di gedung kura-kura. Tapi tak apalah kurasa masih dalam taraf bosan, belum meningkat pada taraf memuakkan. Degil Zine yang baru muncul dalam arus peradaban kota penuh lubang dan kepura-puraan ini bisa jadi menjadi penawar kerinduan akan zine musik (walau aku berharap banyak zine ini tidak hanya berbicara musik melulu; melainkan sastra, budaya, sosial nir-politik praktis, dengan segala kenyinyiran paling radikalis bin anarkis

Social Media Platform; Kedekatan yang Menjauh

Beberapa hari yang lalu di layar gawai elektronik besutan Steve Jobs hasil pemberian kembaranku menampilkan pesan elektronik via platform sosial media whatsapp “bro, bisa kirim artikel tentang jaringan komunikasi sosial untuk e-zine kampus ?” Kulihat asal pesan dari seorang rekan akademisi di seberang benua, kujawab pesan elektronik itu dengan “ok bro, aku kirim versi Indonesia ya, english nyusul. Judulnya Whatsapp; Kedekatan yang Menjauh. Antropologi Supermodern Konsep.” Balasan singkat “ok” dari rekan itu kuanggap persetujuan judul, istilahnya accepted bagi mereka yang terbuai angan-angan jurnal internasional (dilain waktu “mungkin” aku akan bercerita panjang tentang ini). Asal muasal judul artikel itu berasal dari pengamatan secara pribadi terhadap penggunaan platform sosial media pada gawai yang membenturkan pemahaman kultural dengan bahasa algoritma. (Mungkin) sudah umum individu menggunakan platform media sosial walau sering terjadi juga gawai dipenuhi beragam platform

Kongkow Sore dan Tetesan Hujan; Narasi Kebangsaan

Selasa (22/08/2017) yang lalu berkesempatan untuk hadir dalam kongkow-kongkow bersama cerdik pandai di kota ini; ada dosen, ada pejalan ( dervishes ), ada aktivis. Lengkap !. Tanpa berbasa-basi panjang dan lebar akhirnya diskusi dimulai diruang yang bebas merokok untuk mengakomodinir aspirasi tarikan rokok sambil berfikir. Diskusi ini menelaah kehidupan Indonesia pasca 72 tahun usia kemerdekaan sebagai Republik Indonesia. Diawal pengantar diskusi, moderator mengajukan beberapa pertanyaan pokok mengenai dinamika kehidupan Indonesia sekarang ini, dari lintasan politik dan tentu saja aspek reliji yang masih seksi untuk diperbincangkan lebih lanjut. Seorang dosen kemudian mengemukakan narasi panjang sebagai introduksi menuju pembahasan dinamika sosial, politik dan kultural Indonesia saat ini. Pecahan beragam narasi turut diperbincangkan dari fatwa reliji hingga fatwa pujangga, dari kertas perjanjian hingga kertas berwarna dan berharga pula. Setelah dosen tersebut menyelesaikan papara