Postingan

Mengayuh Asa di Kaldera Toba; Tourisme dan Kesehatan (1/2)

Mengayuh Asa di Kaldera Toba; Tourisme dan Kesehatan Avena Matondang Kondisi pandemi covid19 secara global telah memaksa beberapa dimensi hidup terkendala untuk dilakukan sebagai salah satu upaya meminimalisir timbulnya korban penyebaran virus covid19. Dalam skala prioritas kondisi pandemi covid19, situasi yang melanda Indonesia pada akhir bulan Januari hingga hari ini (bulan September), delapan bulan kondisi pergerakan yang terbatas menyebabkan munculnya konsepsi "new normal" dalam kehidupan; suatu kondisi kenormalan baru (?) menghadapi dengan taktis dan strategis penyebaran covid19 dalam kehidupan. Upaya yang dilakukan memasuki kenormalan baru ini adalah diadakannya Geobike Caldera Toba #6 tahun 2020 sebagai upaya mendorong dimensi turisme Indonesia secara umum dengan dampak pada gerak roda kehidupan kembali pada rotasi seperti sebelumnya. Geobike Caldera Toba yang dibesut Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bersama Rumah Karya Indonesia mengusung konsep bersih, seha
Gambar
Covid-19; Perspektif Etnoepidemiologik Diskusi Virtual 1/06/2020 jam 15.00-16.00 (+-15 menit) Diskusi virtual yang diinisiasi oleh Prof. Usman Pelly, P.hD sebagai bagian kontribusi keilmuan antropologi untuk masa wabah Covid-19 ini mengetengahkan suatu persoalan perspektif kultural untuk menghadapi Covid-19 sebagai suatu pertemuan lintas keilmuan antropologi dan medis kedokteran mencakup pula institusi pemerintah sebagai regulator kesehatan di negeri ini.  Kehadiran 4 narasumber; Prof. Usman Pelly, P.hD., dr. Maskur Ramadhan Gani, Avena Matondang dan dr. Kevin Imansyah Harahap (yang berhalangan hadir karena bertugas di rumah sakit) dimaksudkan untuk mempertemukan lintas keilmuan yang solutif terhadap fenomena wabah Covid-19. Paparan Prof. Usman Pelly, P.hD mengetengahkan pendekatan kultural yang adaptif terhadap kebijakan secara geografis (geo-politik secara administratif) terhadap penanganan wabah Covid-19, semisal perbandingan data secara kuantitatif mengenai nilai R

Tao Silalahi Arts Festival 2019; Urdot Kultural Anak Muda

Gambar
Perjalanan kultural adalah pengalaman yang tak dapat tergantikan dengan hal apapun, idiom ini juga berlaku pada kegiatan Tao Silalahi Arts Festival 2019 yang berlangsung pada tanggal 6 hingga 8 September di Silalahi, Kabupaten Dairi. Kegiatan Tao Silalahi Art Festival yang dihadiri oleh 9.253 orang sebagaimana dicatat oleh panitia TSAF 2019 dan Rumah Karya Indonesia (RKI) ini merupakan suatu pencapaian yang menggairahkan dalam perspektif gerak pariwisata Sumatera Utara yang stagnan dan berorientasi pada keuntungan finansial menanggalkan sisi kultural masyarakat tempatan. Tao Silalahi Arts Festival tidak menawarkan aspek kemewahan dan hospitality berlebihan layaknya kegiatan pariwisata secara umum melainkan menyuguhkan suatu pengalaman intrinsik secara personal sebagai cara membuktikan kegundahan generasi muda terhadap keberlangsungan kultur tradisi yang selama ini menjadi konsumsi golongan usia dan status sosial tertentu. Keberagaman akan latar belakang usia, jenis kelami

1000tenda dan Absurditas Kaum Milenial

1000tenda dan Absurditas Kaum Milenial Banyak yang mengejek kaum milenial dari keterikatan pada gadget , sikap individual hingga miskin wacana, berangkat dari ejekan itu muncul jawaban menepis segala keraguan terhadap kaum milenial, yakni kegiatan 1000tenda di Desa Meat, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba-Samosir. Desa yang harus dicapai oleh keinginan yang kuat karena terbatasnya akses transportasi dari dan menuju desa tersebut serta tentu saja akses jaringan internet yang terbatas (!). Beragam keterbatasan itu didobrak oleh kaum milenial dengan unjuk praktik; kebersihan, berwacana politik, jaringan yang luas, berbaur dan hal lainnya berlawanan dengan sikap skeptis generasi sebelumnya. Kegiatan 1000tenda di Desa Meat, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba-Samosir tidak hanya sekedar anjangsana pada kehidupan luar-ruang layaknya kegiatan camping lainnya melainkan pula membawa misi mencerdaskan kaum milenial dengan tetap menautkannya pada elemen kultural yang hakiki tanpa haru

Pandora Perbincangan; Brutal di Akhir Pekan

Terhitung beberapa hari yang lalu dalam satuan minggu, ada dua acara penting yang menjadi pokok perkara narasi ini; bedah buku berjudul “Panca In Dira/PID” karya Roby Fibrianto Sirait dan forum berbagi “What the Folk; Folk Musik Musnah?.” Kedua acara ini mengetengahkan persoalan mendasar mengenai ideologi dan filsafat seni yang mulai pudar ditengah perbincangan seni yang selalu memperbincangkan remeh-temeh seperti katak dibalik tempurung. Satu persoalan yang dibedah dalam ruang gawat darurat seni berupa buku “Panca In Dira/PID,” buku yang menuliskan tentang kisah antara dua anak manusia berbeda organ genital yang didekatkan tidak hanya oleh kisah romantism percintaan ala “Romeo dan Juliet” melainkan pula kisah percampuran antara kisah “Macbeth” dan “Around the World in 80 Days.”  Kompleksitas ide yang dituturkan secara brilian oleh penulis menghantarkan pembaca pada pengalaman ekstraterestrial yang membumi, tidak berupa pengalaman bertemu U.F.O ataupun dialektika bumi datar (

Pekak-pekak Badak; Wacana Seni Pop Kota Medan

Seni, kata yang sering diucapkan senafas dengan kata budaya, walau absurd ketika mengatakan bahwa seni adalah budaya atau vice versa . Memang kenyataannya di negeri gemah ripah loh jinawi dan kota kecil bersemboyan “Medan Rumah Kita” ini pengertian seni umumnya dipadankan dengan kata budaya untuk menegaskan bahwa proses kegiatan seni berangkat dari respon ekologis masyarakat yang pada praktiknya sering disalahartikan; entah karena ketidaktahuan secara pemikiran, entah pula karena kepentingan.      Seni itu multi kata; dari ke-seni-an hingga air seni, untuk memahami itu setidaknya unsur pemikiran dan tindakan harus selaras. Pembahasan mengenai wacana seni pop (meminjam dan menyingkat kata “populer—pop”) adalah bagian respon terhadap waktu yang harus diapresiasi bukan lantas dibubarkan dengan segala istilah pseudo academicus , lintasan waktu membuktikan tiap zaman memiliki kultur seni yang mendukung kultur seni sebelumnya atau mendekonstruksi kultur seni yang telah ada. Tak har

Arunika; Akar Bunyi Jalinan Nuswantara

Secepat kilat dan secepat emosi yang membumbung di langit-langit otak untuk menuliskan resensi mengenai penampilan Arunika malam ini (5/4/2018) di Caldera Coffee yang diinisiasi oleh Medan Creative Hub. Arunika yang merunut pada penuturannya telah berkreasi sejak 2017 masuk dalam kategori berhasil mempertunjukkan repertoir dengan apik dalam warna world music , walaupun wacana mengenai keabsahan world music masih terombang-ambing dalam lintasan zaman sebagaimana pernah dikemukakan dedengkot etnomusikologi, Bruno Nettl (2007, s urat elektronik pribadi kepada penulis bertarikh July 30, 2007 dalam membahas perbedaan antara antropologi musik dan etnomusikologi serta musik dan  world music ) sebagai bentuk “keperluan identitas” semata.   Repertoir demi repertoir yang dimainkan termasuk karya instrumental bertajuk “Akar” menengahkan problematika situasi terkini dalam bahasa musikal yang jernih dan sederhana dicerna oleh akal sehat, semisal lainnya repertoir “Raung Khatulistiwa” yang